Archive for 2013-09-29
Ajang Kompetisi Bisnis Berbasis Teknologi (Teknopreneur) akan Digelar di Aceh
Inkubator
Teknopreuneur Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala bekerja sama dengan Multimedia Learning Center,
Telematics Research Center dan partner-partner pendukung lainnya akan menyelenggarakan Aceh Business Model
Competition 2013 (Aceh BMC 2013). Aceh BMC merupakan sebuah rangkaian acara dan
perlombaan yang berkonsentrasi pada perkembangan kewirausahaan yang berbasis
teknologi dan merupakan salah satu rangkaian kegiatan Dies Natalis Fakultas
Teknik ke 50.
Aceh BMC 2013 adalah
ajang kompetisi kewirausahaan tingkat lokal bagi para mahasiswa/i pelajar,
mahasiswa dan masyarakat umum di propinsi Aceh. Ini adalah kompetisi pertama di
Aceh yang diusung berdasarkan kompetisi bisnis model. Kompetisi bisnis model
berbeda dari kebanyakan kompetisi bisnis plan yang banyak dilombakan oleh
berbagai lembaga, instansi pemerintah maupun bank-bank yang ada di Indonesia.
Dimana pada kegiatan ini akan dirangkai dengan berbagai kegiatan penunjang
seperti workshop, pelatihan, dan komunikasi online yang terbuka.
Kegiatan ini
tidak menekankan harus menghasilkan produk, juga tidak mengharuskan calon
peserta harus berkecimpung di bidang IT. Kompetisi ini terbuka untuk berbagai
bidang, seperti perikanan, pertanian, teknik, mipa, ilmu sosial, bahkan hal-hal
umum lainnya. Tetapi, diharapkan ada porsi teknologinya sehingga dapat
memberikan nilai tambah untuk produk yang akan disebar ke pasar nantinya. Kegiatan ini diharapkan menjadi sebuah wadah untuk
mahasiswa, pelajar, maupun masyarakat umum yang ingin belajar dan mengembangkan
kemampuan berwirausaha dengan sentuhan teknologi.
Penyelenggaraan Aceh BMC 2013 merupakan bagian dari
Kegiatan International BMC (Business Model Competition) yang merupakan lomba
model bisnis tingkat dunia yang diselenggarangkan oleh Bringham Young
University di Provo, UT, Amerika. Aceh adalah propinsi pertama di Indonesia
yang menjalin kerja sama langsung dengan penyelenggara International BMC.
Rahmad Dawood,
penggagas diselenggarakannya Aceh BMC 2013, mengatakan: “BMC diselenggarakan
dengan misi menginspirasi generasi muda Aceh untuk memulai dan menumbuhkan
usaha mereka, sehingga bukan hanya menjadi generasi pencari kerja namun mampu
menjadi generasi pencipta lapangan pekerjaan; menjalani usaha bukan sekedar
menyalurkan hobi atau coba-coba tapi untuk mencari keuntungan; dan lebih dari
sekedar menjalankan usaha, mereka menerapkan inovasi, etika bisnis dan tanggung
jawab sosial. Kegiatan ini diharapkan
menjadi pendobrak semangat kalangan muda untuk membangun wadah Start Up di Aceh, khususnya di bidang
Teknoprenur. Karena mengingat potensi alam yang begitu luar biasa, sudah
selayaknya dikebangkan dengan pemanfaatan teknologi.
Setelah
melalui proses seleksi, pada finalis yang terpilih akan mengikuti program
mentoring dan mempresentasikan usaha mereka pada para mentor BMC yang terdiri
dari para ahli dan teknoprenur berpengalaman, yaitu:
1. Tatang Santoso -
Praktisi Telekomunikasi dan VP Stratigic Planning & Management System PT
PINS Subsidiary, PT Telkom Tbk,
2. Radhi Darmansyah Praktisi Media Online dan Pendiri/Pemimpin The
Globe Journal
3. Irfan Sofni - Praktisi
Perbankan dan Mantan COO Salah Satu Bank Pembangunan Daerah
4. Muhammad Ilham Maulana -
Praktisi Energi terbaharukan dan Dosen Teknik Mesin Unsyiah
5. Rahmad Dawood -
Praktisi IT dan Dosen Teknik Elektro / Informatika Unsyiah
6. Ray Bae - Praktisi,
Investor IT dan Dirut Akomatika Perusahaan PMA Korea Selatan
Pendaftaran
awal Aceh BMC 2013 dibuka mulai 19 September sampai 19 Oktober 2013. Sedangkan
acara Final "Kompetisi Bisnis Model" tersebut akan digelar pada bulan
Januari 2014 mendatang. Aceh BMC 2013 merupakan salah satu tahap kualifikasi
International Business Model Competition (International BMC) dimana pemenang
dari Aceh BMC 2013 akan secara otomatis masuk menjadi finalis pada ajang
Internasional BMC. Acara workshop perdana digelar tanggal 5 Oktober 2013 di
laboratorium IPA terpadu Universitas Syiah Kuala.(Inc/Ja)
Tertarik untuk
menjadi calon enterpreneur dan mendaftarkan diri? Segara kunjungi:
●
Ikuti informasi terkini di twitter:
@AcehBMC
Agama Dan Politik Global
Runtuhnya Uni Soviet pada awal 1990-an menandai
hancurnya blok komunis dan berakhirnya era perang dingin. Dari konteks
wacana-wacana besar tentang ideologi, komunis sudah dianggap tidak lagi
relevan.
Francis Fukuyama menyebut fenomena "the end of history", yaitu fenomena pengerucutan pada ideologi kapitalisme dan liberalisme. Kemudian menggelembunglah wacana globalisasi, seolah sebagai kelanjutan atau konsekuensi semata dari kegemilangan kapitalisme dan liberalisme.
Namun, di abad ke-21 ini, dengan intensitas yang berbeda dengan abad ke-20, faktor agama mulai marak diperhitungkan kembali dalam khazanah politik global. Laporan khusus majalah The Economist (edisi 3-9 November 2007) misalnya, mencoba menggarisbawahi "kesimpulan" tersebut.
Faktor agama tidak dapat dipandang lagi sebelah mata. The Economist mencatat beberapa gejala yang mencuat untuk memperkuat argumentasinya: kebangkitan partai Islam di republik sekuler Turki hingga kekuatan nasionalis Hindu dalam pemilu India yang akan datang.
Terdapat pula kecenderungan bahwa China mungkin saja menjadi negara Kristen terbesar sedunia, tetapi mungkin pula berpenduduk Islam terbesar pula. Boleh jadi, hari-hari ini kita tengah berada dalam proses kebangkitan agama-agama di pentas politik global. Sebagaimana sudah diramalkan Samuel P Huntington, Islam akan tampil sebagai faktor dominan di dalam "mengimbangi" wacana ideologi Barat, sepeninggal komunisme.
Islam yang dimaksud ialah "Islam radikal" atau "fundamentalis" yang mengangkat senjata melawan "musuh-musuhnya". Mereka dianggap memusuhi Barat. Julukan mereka tambah lengkap setelah peristiwa 9/11, sebuah serangan ke New York dan Washington yang menghebohkan itu: "Islam teroris". Perang melawan teroris yang dicanangkan Amerika Serikat (AS) dan diamini oleh para sekutunya, karenanya menjadi identik dengan perang melawan kelompok Islam radikal dan fundamentalis ini.
Sumber Malapetaka?
Yang menjadi persoalan, seolah agama merupakan sumber konflik, bukan sumber kedamaian. Mungkin benar ujaran Goenawan Mohammad bahwa masa yang kita alami sekarang adalah masa "ketika Tuhan tak bisa ditolak dan agama bertambah penting dalam hidup orang banyak, memberi kekuatan, menerangi jalan, tetapi juga membingungkan dan menakutkan".
Yang membuat agama begitu, tentu para pelaku-pelakunya. Agama sendiri kerap dimultitafsirkan oleh para pengikutnya, dan hadirlah ragam mazhab dan keyakinan. Konflik kerap hadir di tengah internal agama itu sendiri, tak jarang juga menumpahkan darah. Konflik aliran Sunni dan Syiah di Irak pasca-tumbangnya Saddam Hussein merupakan salah satu contohnya.
Francis Fukuyama menyebut fenomena "the end of history", yaitu fenomena pengerucutan pada ideologi kapitalisme dan liberalisme. Kemudian menggelembunglah wacana globalisasi, seolah sebagai kelanjutan atau konsekuensi semata dari kegemilangan kapitalisme dan liberalisme.
Namun, di abad ke-21 ini, dengan intensitas yang berbeda dengan abad ke-20, faktor agama mulai marak diperhitungkan kembali dalam khazanah politik global. Laporan khusus majalah The Economist (edisi 3-9 November 2007) misalnya, mencoba menggarisbawahi "kesimpulan" tersebut.
Faktor agama tidak dapat dipandang lagi sebelah mata. The Economist mencatat beberapa gejala yang mencuat untuk memperkuat argumentasinya: kebangkitan partai Islam di republik sekuler Turki hingga kekuatan nasionalis Hindu dalam pemilu India yang akan datang.
Terdapat pula kecenderungan bahwa China mungkin saja menjadi negara Kristen terbesar sedunia, tetapi mungkin pula berpenduduk Islam terbesar pula. Boleh jadi, hari-hari ini kita tengah berada dalam proses kebangkitan agama-agama di pentas politik global. Sebagaimana sudah diramalkan Samuel P Huntington, Islam akan tampil sebagai faktor dominan di dalam "mengimbangi" wacana ideologi Barat, sepeninggal komunisme.
Islam yang dimaksud ialah "Islam radikal" atau "fundamentalis" yang mengangkat senjata melawan "musuh-musuhnya". Mereka dianggap memusuhi Barat. Julukan mereka tambah lengkap setelah peristiwa 9/11, sebuah serangan ke New York dan Washington yang menghebohkan itu: "Islam teroris". Perang melawan teroris yang dicanangkan Amerika Serikat (AS) dan diamini oleh para sekutunya, karenanya menjadi identik dengan perang melawan kelompok Islam radikal dan fundamentalis ini.
Sumber Malapetaka?
Yang menjadi persoalan, seolah agama merupakan sumber konflik, bukan sumber kedamaian. Mungkin benar ujaran Goenawan Mohammad bahwa masa yang kita alami sekarang adalah masa "ketika Tuhan tak bisa ditolak dan agama bertambah penting dalam hidup orang banyak, memberi kekuatan, menerangi jalan, tetapi juga membingungkan dan menakutkan".
Yang membuat agama begitu, tentu para pelaku-pelakunya. Agama sendiri kerap dimultitafsirkan oleh para pengikutnya, dan hadirlah ragam mazhab dan keyakinan. Konflik kerap hadir di tengah internal agama itu sendiri, tak jarang juga menumpahkan darah. Konflik aliran Sunni dan Syiah di Irak pasca-tumbangnya Saddam Hussein merupakan salah satu contohnya.
Yang menjadi kegelisahan para agamawan justru politisasi agama yang mampu menyebabkan konflik identitas (agama). Kaum agamawanlah biasanya yang disibukkan dengan konflik-konflik identitas. Padahal lebih sering sesungguhnya konflik politik, bukan konflik agama.Tetapi, harus diakui posisi dan peran mereka semakin penting di tengah-tengah konstelasi politik global di abad ke-21 ini.
Islam dan Barat
Beberapa pertanyaan mengemuka kini: apakah Islam kompatibel dengan Barat? Sementara ini terdapat tiga kelompok utama berdasarkan jawaban atas pertanyaan tersebut: ya, bisa ya bisa tidak, dan tidak. Fenomena Turki biasanya menjadi bahan cermatan. Turki adalah negara sekuler, tetapi kini tengah dikendalikan oleh kelompok Islam (moderat).
AKP, partai yang berkuasa, memang resminya bukan partai Islam, tetapi aktivis-aktivis yang menggerakkannya dikenal sebagai aktivis-aktivis Islam. Turki adalah model negara yang bisa jadi mampu menjawab pertanyaan apakah Islam kompatibel dengan Barat. Hubungannya dengan demokrasi, banyak kalangan yang sudah tak mempersoalkan lagi.
Banyak negara-negara muslim yang demokratis sekarang. Indonesia, misalnya, segera mendapat predikat sebagai negara berpenduduk muslim demokrat terbesar sedunia setelah pemilu bebas terselenggara pasca-Orde Baru. Islam kompatibel dengan demokrasi. Justru kecenderungan yang ada menunjukkan, kelompok-kelompok Islam pun kian merasa diuntungkan dengan sistem tersebut.
Dalam beberapa kasus, mereka memperoleh kemenangan yang telak, seperti fenomena kemenangan AKP di Turki itu. Agama sebagai faktor politik, di AS pun kian memperoleh sorotan, dengan dominannya pengaruh kelompok Kristen Evangelis dan kalangan Neo-Konservatif atas hadir dan "langgengnya" kekuasaan Goerge W Bush.
Kelompok fundamentalis tentu tidak dapat semata dicapkan kepada kelompok Islam tertentu, tetapi juga Kristen, Yahudi, Hindu, atau yang lain. Istilah "jihadis" pun agaknya juga sudah berkembang, tidak hanya merujuk pada kelompok Islam radikal, tetapi juga agama-agama lain. Para intelektual di Barat pun kian banyak mengadopsi istilah-istilah sedemikian.
Penasihat Barack Obama dari Partai Demokrat ini lebih "positif" dalam melihat fenomena Islam masa kini. Bukunya lebih menyarankan pendekatan diplomasi dan saling pengertian untuk "memenangkan semua pihak", ketimbang perang. Catat Gordon, ekstremisme Islam, seperti komunisme, akan kolaps bukan oleh militer, tetapi oleh kegagalannya menampung keinginan-keinginan rakyatnya sendiri.
Kedua, Norman Podhoretz dalam World War IV: The Long Struggle Against Islamofascism (2007) secara provokatif memberikan pembenaran-pembenaran atas serangan AS ke Irak dan mendorong penyelesaian masalah dengan pendekatan militer atas negara-negara yang dikategorikannya sebagai "Islamofascism".
Podhoretz adalah intelektual penyokong Neo-Konservatif dan penasihat Rudolph Giuliani dari Partai Republik. Persoalan pendekatan, tampak menjadi amat penting dalam konteks politik global: bagaimana agama (Islam) dipandang sebagai faktor dominan pasca-Perang Dingin. Dalam konteks Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Sunni, hendaknya lebih berhati-hati dalam merespons dinamika antarbangsa, di satu sisi harus logis-rasional, di sisi lain tidak melukai solidaritas antarnegara Islam.
Kasus penolakan pengembangan energi nuklir Iran oleh Indonesia di forum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), misalnya, bagaimanapun merupakan pelajaran berharga. Mampu tidaknya Indonesia memainkan peran dan pengaruhnya di negara-negara muslim dan dunia internasional kelak akan tergantung pada konsisten tidaknya pada haluan politik yang bebas aktif. Wallahua'lam. (*)
*M Alfan Alfian, Direktur Riset The Akbar Tandjung Institute, dan Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta
Sumber: Okezone.com
Event: LKTI Nasional ACTIVE 2013
LKTI (Lomba Karya Tulis Ilmiah) merupakan salah satu dari rangkaian acara ACTIVE (Accounting Society in Versatility) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS. LKTI yang saat ini diselenggarakan di tingkat nasional merupakan kegiatan yang bertujuan menumbuhkan minat menulis di kalangan mahasiswa. Selain itu, melalui tema yang dipilih diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, sikap kritis, dan kreatif bagi mahasiswa.
Tema yang kami angkat saat ini adalah “Strategi Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) 2015” merupakan isu yang sedang hangat diperbincangkan oleh berbagai kalangan, mulai dari ekonom, praktisi lingkungan, bisnis, maupun sosial masyarakat di Indonesia.
Deadline pendaftaran dan pengumpulan LKTI ACTIVE: 20 Oktober 2013
A. Pendaftaran dan pengumpulan Karya Tulis Ilmiah: 26 Juli – 20 Oktober 2013 dialamatkan ke Sekretariat Panitia LKTI Nasional ACTIVE 2013 HMJ Akuntansi FE UNS
B. Tata cara pendaftaran, proposal peserta, format, dan tata cara penulisan dapat dilihat atau di-download melalui web resmi ACTIVE
C. Semua peserta/pengirim karya tulis akan mendapatkan SERTIFIKAT.
D. Pengumuman 10 besar finalis: 6 November 2013 dan Final: 19 November 2013
E. 10 besar finalis akan diundang mengikuti serangkaian acara ACTIVE yang diselenggarakan pada tanggal 18-20 November 2013
F. Peserta LKTI dapat berasal dari seluruh fakultas dan seluruh jurusan dalam satu Universitas
Tema dan Sub Tema
Tema umum:
Strategi Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) 2015
Sub tema:
1. Strategi Peningkatan Kompetensi Akuntan dan peranan ilmu Akuntansi pada ASEAN Economic Community 2015
2. Strategi Kebijakan Perekonomian Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015
3. Strategi managerial UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) sebagai upaya pemberdayaan dan peningkatan daya saing global dalam ASEAN Economic Community 2015
4. Pengelolaan dan pemanfaatan agribisnis di Indonesia sebagai komoditi utama dalam perdagangan global ASEAN Economic Community 2015
Biaya Pendaftaran
Rp 100.000,- per karya
Ke rekening: Bank BNI Surakarta KC Slamet Riyadi a.n. Aghny Laily Harisna No. Rekening: 29987761-5
Hadiah Pemenang
Juara I
• Piala Rektor UNS*
• Uang tunai Rp3.500.000,00
• Sertifikat
Juara II
• Piala Walikota Surakarta*
• Uang tunai Rp2.500.000,00
• Sertifikat
A. Pendaftaran dan pengumpulan Karya Tulis Ilmiah: 26 Juli – 20 Oktober 2013 dialamatkan ke Sekretariat Panitia LKTI Nasional ACTIVE 2013 HMJ Akuntansi FE UNS
B. Tata cara pendaftaran, proposal peserta, format, dan tata cara penulisan dapat dilihat atau di-download melalui web resmi ACTIVE
C. Semua peserta/pengirim karya tulis akan mendapatkan SERTIFIKAT.
D. Pengumuman 10 besar finalis: 6 November 2013 dan Final: 19 November 2013
E. 10 besar finalis akan diundang mengikuti serangkaian acara ACTIVE yang diselenggarakan pada tanggal 18-20 November 2013
F. Peserta LKTI dapat berasal dari seluruh fakultas dan seluruh jurusan dalam satu Universitas
Tema dan Sub Tema
Tema umum:
Strategi Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) 2015
Sub tema:
1. Strategi Peningkatan Kompetensi Akuntan dan peranan ilmu Akuntansi pada ASEAN Economic Community 2015
2. Strategi Kebijakan Perekonomian Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015
3. Strategi managerial UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) sebagai upaya pemberdayaan dan peningkatan daya saing global dalam ASEAN Economic Community 2015
4. Pengelolaan dan pemanfaatan agribisnis di Indonesia sebagai komoditi utama dalam perdagangan global ASEAN Economic Community 2015
Biaya Pendaftaran
Rp 100.000,- per karya
Ke rekening: Bank BNI Surakarta KC Slamet Riyadi a.n. Aghny Laily Harisna No. Rekening: 29987761-5
Hadiah Pemenang
Juara I
• Piala Rektor UNS*
• Uang tunai Rp3.500.000,00
• Sertifikat
Juara II
• Piala Walikota Surakarta*
• Uang tunai Rp2.500.000,00
• Sertifikat
Juara III
• Piala IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) Surakarta*
• Uang tunai Rp2.000.000,00
• Sertifikat
*dalam konfirmasi
Persyaratan Peserta
1. Peserta LKTI Nasional ACTIVE 2013 adalah mahasiswa aktif diploma maupun strata 1 dari seluruh perguruan tinggi swasta dan negeri di Indonesia.
2. Peserta LKTI Nasional ACTIVE 2013 adalah perseorangan atau tim yang terdiri dari maksimal 3 orang. Anggota tim dapat berasal dari fakultas/departemen yang berbeda, tetapi masih dalam satu perguruan tinggi.
3. Peserta LKTI Nasional ACTIVE 2013 diperkenankan mengirim lebih dari satu judul karya tulis, maksimal tiga judul karya tulis, dengan syarat anggota tim berbeda, dan peserta tidak boleh merangkap jabatan sebagai ketua tim di tiga karya tulis yang dibuat (salah satu diperbolehkan).
4. Peserta LKTI Nasional ACTIVE 2013 sanggup mengikuti ketentuan yang ada dalam Pedoman Umum LKTI Nasional ACTIVE 2013. Proposal peserta, format, dan tata cara penulisan dapat dilihat atau didownload melalui web resmi http://hmja-feuns.com/
5. Peserta LKTI Nasional ACTIVE 2013 wajib mengirimkan karya tulis yang orisinil dan belum pernah dipublikasikan atau dilombakan pada lomba lain.
6. Apabila panitia menemukan kecurangan , baik sebelum, selama, ataupun setelah kompetisi berlangsung, maka peserta yang bersangkutan dinyatakan gugur.
7. Keputusan dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
Kriteria Penilaian
o Orisinalitas
o Kreativitas
o Inovasi
o Kelogisan dalam penerapan nyata
o Format karya tulis
o Teknik presentasi
CONTACT PERSON
Herjuno 085655224220
Beltian 085647475997
Amandara 08999319492
Web ACTIVE: http://hmja-feuns.com/
Email: unsactive2013@gmail.com
Kantor sekretariat:
Sekretariat Panitia LKTI Nasional ACTIVE 2013
HMJ Akuntansi FEB UNS
Gedung UKM Lantai 1
Jalan Ir. Sutami 36 A, Kentingan, Surakarta, Jawa Tengah, 57126
Misteri Integritas Diri (Konflik Batin)
Hidup yang penuh dengan integritas akan seringkali
berhadapan dengan dilema. Apakah orang akan berpegang pada prinsip, ketika
prinsip itu mungkin saja akan membunuh diri dan keluarganya? Ketika prinsip itu
mungkin saja mengorbankan mata pencahariannya? Ketika prinsip itu bisa dengan
mudah diganti dengan keuntungan material nan memikat mata?
Situasi semacam itu mencipkan konflik batin, tak pelak
hati tersiksa berhadapan dengan tekanan sistem. Namun integritas mengandung
misteri, yakni ia tak mati ditekan situasi. Di dalam dilema dan konflik, ia
justru semakin terasah dan teruji.
Di zaman sekarang ini orang tak tahan dengan dilema
diri. Situasi menekan dan orang langsung pergi menyelamatkan diri. Konflik
batin adalah situasi yang menyakitkan, maka orang meninggalkannya. Tanpa
konflik batin dan upaya untuk memaknainya, orang akan hanyut di sungai-sungai
kehidupan, dan integritas akan semakin jauh dari dirinya.
Yang tercipta kemudian adalah manusia dengan individu
culas. Lahirlah koruptor waktu, uang, dan bahkan penipu dengan wajah memelas.
Manusia yang individunya takut berkonflik dengan dirinya sendiri melahirkan
para penjahat yang tak punya hati nurani. Mereka menghisap keberadaban manusia,
tanpa pernah berpikir untuk berhenti.
Bukan
Fundamentalisme
Perlu juga disadari bahwa integritas berbeda dengan
sikap keras kepala. Integritas adalah paradoks yang berakar pada hidup yang
bijaksana. Di satu sisi keteguhan prinsip tetap menyala. Namun di sisi lain
fleksibilitas dalam penerapan yang berakar pada konteks tetap ada.
Maka integritas juga berbeda dengan sikap mental
fundamentalis. Sikap fundamentalis lahir dari hidup yang tak dikaji secara
mendalam, dan secara perlahan membuat hati nurani terkikis. Sikap fundamentalis
tak mengenal fleksibilitas dan konteks dalam penerapan. Sementara mental
integritas justru memberi ruang cukup besar bagi kebebasan, namun dalam
rambu-rambu prinsip yang tak tergoyahkan.
Di zaman sekarang ini orang tidak memahami pembedaan
yang tipis ini. Integritas disamakan dengan sikap keras kepala dan bangga diri.
Integritas disamakan dengan sikap tak berpikir dalam menerapkan suatu ajaran.
Yang tercipta kemudian adalah manusia keras kepala, irasional, dan anti
perubahan. Ingatlah bahwa integritas berbeda dengan kebebalan.
Maka pembedaan antara integritas, sikap keras kepala,
dan mental fundamentalis perlu untuk dipahami dan dihayati . Jika tidak manusia
akan terjebak pada lingkaran kebebalan. Kebebalan akan membuat manusia tak bisa
membaca gerak jaman. Ia pun akan ditinggalkan oleh kereta kemajuan.
Budaya
Unggul
Budaya unggul dalam organisasi juga membutuhkan sikap
integritas dari individu-individu yang terkait di dalamnya. Integritas lahir
dari kebebasan yang dewasa. Kedua hal itu menghasilkan inovasi yang bermakna
untuk organisasi dan masyarakat. Organisasi tidak hanya menyediakan mata
pencaharian bagi anggotanya, tetapi juga makna yang meningkatkan kualitas
hidupnya.
sekarang, budaya unggul di dalam organisasi nyaris tidak
tercipta. Banyak organisasi bagaikan hidup segan mati tak mau. Semuanya sekedar
rutinitas dan kewajiban, tanpa roh yang menjiwai. Inovasi mati dan bahkan
justru dianggap sebagai alergi yang harus dihindari.
Ini semua terjadi karena individu di dalam organisasi
hidup tanpa integritas. Mereka memiliki mental ikut arus. Mereka tidak
mengenali dan mengembangkan kemampuan diri. Untuk mencegah pengeroposan
organisasi lebih jauh, maka prinsip utama dan pertama pengembangan di dalam
organisasi adalah penciptaan dan pelestarian integritas diri.
Bagaimana?
Esensi dari integritas adalah otonomi dan otentisitas.
Keduanya hanya terbangun di dalam iklim kebebasan. Di titik ini kebebasan tidak
berarti kebebasan tanpa aturan. Kebebasan dalam konteks integritas adalah
kebebasan yang dibalut dengan prinsip-prinsip hidup yang tak tergoyahkan.
Maka yang perlu diciptakan adalah iklim kebebasan
berpikir dan berekspresi yang dibalut dengan prinsip-prinsip yang mendalam.
Iklim perbedaan sudut pandang harus diciptakan, dan disertai dengan argumentasi
rasional yang mendasari masing-masing perbedaan. Kebebasan berekspresi harus
ditonjolkan dalam bentuk kemerdekaan berpendapat, dan keberanian menampilkan
citra diri seutuhnya. Hanya di dalam iklim semacam itulah integritas bisa
tumbuh dan berkembang.
Di Indonesia orang takut dengan kebebasan. Kebebasan
disamakan begitu saja dengan pemberontakan. Kaum religius takut umatnya akan
menjadi ragu. Kaum feodal pendidikan takut muridnya tidak lagi patuh. Keduanya
adalah kesalahan berpikir soal kebebasan.
Yang perlu disadari adalah, bahwa kebebasan itu butuh
waktu untuk menciptakan tradisinya. Kebebasan perlu kesabaran untuk membuktikan
keunggulannya. Kebebasan itu kemudian diterjemahkan di dalam kebijakan yang
manusiawi. Itulah iklim yang bisa melahirkan integritas diri.
Integritas bukan buih moral tanpa makna. Integritas
adalah soal eksistensi kita sebagai manusia. Meremehkannya sama dengan
menggiring kita perlahan menuju kehancuran. Integritas adalah lembar tipis yang
memisahkan kita dari ketiadaan.
*Muhammad Renaldy,
Ketua Umum HMI Komisariat Teknik Unsyiah Periode 2009-2010
Mencari Pahlawan Masa Kini
Ruang khayal kita selalu dipenuhi sederet tokoh masa
lalu, seperti Sisingamangaraja, Teuku Umar, Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin,
Patimura, dan sederet nama beken lainnya ketika terkenang sejarah kepahlawanan
negeri ini.
Mengenang tokoh masa lalu - pahlawan nasional - menandakan bangsa ini tahu berterima kasih kepada para pahlawan. Ini juga menandakan bangsa ini tidak lupa kacang akan kulitnya.
Bangsa ini menyadari bahwa di atas kemerdekaan bangsa, tulang rapuh para pahlawan telah menjadi tiang penyangga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti kata orang bijak, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.
Namun, jika memperingati pahlawan hanya sebatas mengenang kisah patriotisme pahlawan, kita bisa jatuh ke dalam romantisme pahlawan. Yang jauh lebih penting sebenarnya adalah bagaimana kisah heroik para pahlawan menjadi sumber inspirasi generasi berikutnya.
Menjadi Pahlawan
Menjadi pahlawan saat sekarang pasti tidak harus cakap menggunakan bambu runcing, tombak, dan bayonet seperti pahlawan tempo dulu. Bukan saja musuh yang dihadapi saat ini tidak berwujud bagai tentara - tentara negara imperialis yang tidak berperikemanusiaan dan keadilan.
Musuh kita saat ini adalah kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, kenestapaan, dan penindasan yang masih menjadi warisan abadi pascaera kolonial berakhir. Indonesia modern membutuhkan pahlawan-pahlawan bangsa yang tidak lagi berperang dengan bambu runcing. Bukan juga pahlawan yang siap mati konyol hanya demi sebuah ideologi perjuangan.
Apalagi pahlawan yang hanya pintar beretorika, namun nihil dalam tindakan. Akan tetapi, pahlawan yang berikhtiar dengan sungguh-sungguh melepaskan Indonesia dari berbagai keterpurukan dan sukses membawa bangsa ini menjadi negara yang memiliki harkat serta martabat di mata seluruh negara di dunia. Itulah pahlawan masa depan. Dialah pahlawan yang kita nanti-nantikan.
Dibutuhkan pahlawan yang berani mengungkap skandal korupsi tanpa tebang pilih dan pilih-pilih buku pada seluruh lapisan birokrasi pemerintah dan peradilan di negeri ini. Dibutuhkan pahlawan yang berani membongkar kecurangan pada setiap proyek pembangunan yang konon selalu di-mark up 45 persen dari biaya proyek sebenarnya. Dibutuhkan pahlawan antikorupsi, kolusi, dan nepotisme.
Mengenang tokoh masa lalu - pahlawan nasional - menandakan bangsa ini tahu berterima kasih kepada para pahlawan. Ini juga menandakan bangsa ini tidak lupa kacang akan kulitnya.
Bangsa ini menyadari bahwa di atas kemerdekaan bangsa, tulang rapuh para pahlawan telah menjadi tiang penyangga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti kata orang bijak, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.
Namun, jika memperingati pahlawan hanya sebatas mengenang kisah patriotisme pahlawan, kita bisa jatuh ke dalam romantisme pahlawan. Yang jauh lebih penting sebenarnya adalah bagaimana kisah heroik para pahlawan menjadi sumber inspirasi generasi berikutnya.
Menjadi Pahlawan
Menjadi pahlawan saat sekarang pasti tidak harus cakap menggunakan bambu runcing, tombak, dan bayonet seperti pahlawan tempo dulu. Bukan saja musuh yang dihadapi saat ini tidak berwujud bagai tentara - tentara negara imperialis yang tidak berperikemanusiaan dan keadilan.
Musuh kita saat ini adalah kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, kenestapaan, dan penindasan yang masih menjadi warisan abadi pascaera kolonial berakhir. Indonesia modern membutuhkan pahlawan-pahlawan bangsa yang tidak lagi berperang dengan bambu runcing. Bukan juga pahlawan yang siap mati konyol hanya demi sebuah ideologi perjuangan.
Apalagi pahlawan yang hanya pintar beretorika, namun nihil dalam tindakan. Akan tetapi, pahlawan yang berikhtiar dengan sungguh-sungguh melepaskan Indonesia dari berbagai keterpurukan dan sukses membawa bangsa ini menjadi negara yang memiliki harkat serta martabat di mata seluruh negara di dunia. Itulah pahlawan masa depan. Dialah pahlawan yang kita nanti-nantikan.
Dibutuhkan pahlawan yang berani mengungkap skandal korupsi tanpa tebang pilih dan pilih-pilih buku pada seluruh lapisan birokrasi pemerintah dan peradilan di negeri ini. Dibutuhkan pahlawan yang berani membongkar kecurangan pada setiap proyek pembangunan yang konon selalu di-mark up 45 persen dari biaya proyek sebenarnya. Dibutuhkan pahlawan antikorupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sudah sewajarnya negara membuka akses-akses supaya pahlawan ini segera muncul bak cendawan di musim hujan. Namun kenyataannya, negara lebih senang membuka nostalgia masa lalu ketika Hari Pahlawan menjelang. Miliaran dana dihabiskan demi menapak tilas berbagai kisah heroik para pahlawan bangsa ketika merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Ya, setiap tahun negeri ini merayakan Hari Pahlawan tanpa visi pahlawan masa kini. Lihatlah para pahlawan masa kini seperti yang disebut di atas tidak pernah memperoleh legitimasi dan apresiasi dari negara. Malah, sering terjadi keberanian dan kisah heroik mereka mempertahankan kebenaran justru dijadikan sebagai legitimasi memecundangi karier mereka di kemudian hari.
Banyak dari anak bangsa negeri ini yang seharusnya mendapat predikat pahlawan masa kini, ternyata dipecat dari instansinya, diberangus aktivitas politiknya, dibungkam kritiknya, bahkan ada yang dihabisi akibat keberaniannya mengungkap kebenaran. Termasuk para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai pembantu, kuli dan buruh di mancanegara pantas disematkan lencana pahlawan masa kini.
Mereka merupakan pahlawan devisa yang setiap bulan menyetorkan uang miliaran ke dalam kas negara. Ketika pemerintah tidak mampu menciptakan lapangan kerja, TKI tidak menuntut balik pemerintah dengan aksi jalanan. TKI mencari solusi sendiri dengan bekerja ke luar negeri. Namun, lagi-lagi negeri ini tidak peduli dengan pengorbanan pahlawan ini.
Selama di negeri orang, pemerintah tidak mampu melakukan negosiasi dengan negara tempat TKI bekerja. Berbagai cerita duka tentang nasib tragis TKI akibat perbuatan sewenang-wenang majikannya sama sekali tidak menantang pemerintah guna campur tangan supaya kejadian yang tidak berperikemanusiaan terhadap TKI terulang lagi.
Dalam pandangan pemerintah, TKI tidak lebih sebagai komoditas ekspor ketimbang dipandang sebagai pahlawan devisa. Jangankan melindungi nasib mereka di luar negeri, ketika pulang ke Tanah Air, mereka menjadi santapan lezat aparat birokrat dan pihak lain.
Pahlawan Masa Kini
Bangsa Indonesia kaya dengan pahlawan masa lampau, tetapi miskin pahlawan masa kini. Setiap tahun pemerintah tidak pernah kehabisan stok untuk membaptis tokoh masa lalu menjadi pahlawan nasional, sementara itu tidak satu pun putra bangsa saat ini dilirik untuk dibaptis menjadi pahlawan masa kini.
Apakah di antara putra bangsa ini tidak ada yang pantas menyandang predikat pahlawan antikorupsi? Apakah tidak ada di antara para TKI sanggup disematkan lencana kepahlawanan? Apakah Munir tidak cocok dianggap sebagai pahlawan kebenaran? Krisis multidimensi yang belum berakhir sebenarnya merupakan lahan subur lahirnya pahlawan masa kini.
Pahlawan adalah sosok yang berjuang tanpa pamrih dalam berbagai bidang demi kepentingan bangsa dan tanah airnya. Memang mengharapkan dari birokrasi dan legislatif kita lahir pahlawan masa kini adalah sesuatu yang mustahil. Birokrasi dan legislatif dipenuhi orang-orang yang tidak punya semangat berprestasi demi kemajuan bangsa. Kebanyakan para aparat di birokrasi masih beranggapan rakyat bukan untuk dilayani, namun dijadikan santapan demi menggemukkan pundi-pundi mereka.
Walau begitu, optimisme masih tetap ada. Selalu ada dua atau beberapa orang dari aparat negeri kita berani menyelamatkan uang negara dari penjarahan yang prosedural, pahlawan yang mampu memotong carut-marut lini birokrasi yang memusingkan rakyat, pahlawan yang anti-KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pahlawan yang selalu menggunakan pedang keadilan tanpa pandang bulu ketika memutuskan perkara, dan pahlawan yang mampu mengeluarkan bangsa ini dari berbagai krisis yang melanda.
Kita berharap di masa kepemimpinan SBY, lahir pahlawan-pahlawan masa kini. Kalau pemerintah SBY punya komitmen memajukan bangsa ini dengan cara menghapuskan korupsi dan berbagai retorika yang dulu pernah terucap di hadapan rakyat, maka pemerintah SBY harus berani juga mengangkat pahlawan antikorupsi, pahlawan kebenaran, pahlawan keadilan, dan pahlawan antikolusi. Berani ! –
*Arfanda
Siregar, Alumnus UGM Yogyakarta
Sumber: Okezone.com