- Back to Home »
- Opini »
- Jati Diri HMI: Independen Berpolitik, Arif Berbudaya, Mandiri Berekonomi
Posted by : Unknown
Tuesday, September 17, 2013
Perkembangan sejarah Indonesia berkaitan erat dengan
laju organisasi HMI. Bangsa dan Negara Indonesia selalu berdealektika dengan
ide juga cita-cita HMI, keduanya seolah tak pernah ada kontradiksi, karena
selalu mencari titik temu dalam merajut harmoni. Begitupun dengan hilangnya
jati diri bangsa, sudah dapat dipastikan itu adalah dampak dari melunturnya
jati diri HMI.
Jati diri adalah sebuah identitas keseharian dan inti
dari kehidupan sosial, politik, budaya bahkan agama. Semua elemen akan bersinergi, mengkristal
menjadi jati diri yang akan menentukan cara kita berfikir maupun bertindak.
Tidak perlu diragukan lagi, kebesaran HMI yang meramaikan hiruk-pikuk
perjuangan dari Sabang-Merauke merupakan manifestasi keberanian Lafran Pane
menetapkan jati diri HMI, ditengah masa transisi kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang penuh hingar bingar pertarungan Ideologi.
Zaman terus bergerak, tidak dapat dihindari bahwa
tatanan sosial-politik juga ikut berubah. Maka dari itu, metode perjuangan pun
harus mampu beradaptasi agar HMI dapat terus mengabdi untuk tanah ibu pertiwi.
Bermacam taktik dan strategi dapat kita rencanakan, namun hal yang paling
prinsipil adalah mengembalikan jati diri kader sesuai dengan NDP, Konstitusi
dan Mission HMI. Tidak dapat dipungkiri, kerap kali NDP, Konstitusi dan Mission
HMI pada dekade belakangan ini hanya dimaknai sebagai hal yang bersifat
formalitas, normatif dan tak berarti.
Ini tanda bahaya yang jelas akan membawa petaka pada krisis identitas
yang berlarut-larut dan ketidakstabilan juga kontradiksi pada tubuh HMI.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat kondisi HMI sekarang, bahkan NDP, Konstitusi
dan Mission HMI dianggap sulit untuk dicerna dibeberapa kalangan. Dengan
demikian, saya mencoba merefleksikan dan
memberikan sandaran filosofis sederhana
dari ketiga pilar HMI untuk menjadi rujukan membentuk jati diri setiap
kader komisariat maupun cabang di Jateng-DIY.
Dari ruang-ruang kajian dan berdialog dengan para tokoh
HMI, saya dapat mengambil inti sari dari semangat jati diri HMI yakni
Independen Berpolitik, Arif Berbudaya dan Mandiri Berekonomi:
Pertama,
Independen Berpolitik, maksudnya bukan berarti kader HMI menjadi
apolitis, malah sebaliknya kader HMI harus berdiri di garda depan panggung
politik nasional untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat karena prinsip
independensi politik HMI adalah berbasis kerakyatan bukan terjebak pada
kepentingan partai tertentu.
Menjadi kader HMI harusnya sadar betul, bahwa politik
bukanlah pekerjaan melainkan sarana perjuangan. Sayangnya, makna politik
sebagai perjuangan banyak mengalami disorientasi dalam tubuh HMI, politik yang
ditransformasi dari bincang-bincang antara senior dengan junior hanya berputar
dipersoalan karir dan jabatan, tak aneh bila generasi sekarang seolah melupa
ideologi karena terlalu asik “bertransaksi” seolah politik menjadi ajang
jual-beli bermetamorfosi sebagai
pekerjaan untuk mendapatkan tahta dan harta.
Saya yakin, politik bukan hal semacam itu, politik dalam
pengertian yang paling baik adalah suatu usaha terencana untuk menciptakan
tatanan sosial yang lebih baik. Entah dalam situasi monarki maupun demokrasi.
Cita-cita politik kader HMI sudah jelas dalam ingatan, walau pada masa
mendatang setiap kader akan menjadi
jurnalis, pengusaha, guru, dosen, budayawan, pengurus partai atau menjadi
pengamat, mereka harus tetap berpolitik menopang kemajuan negara dan bangsa,
kita tidak boleh terpecah-pecah, kita tetap terhubung karena mempunyai cita-cita yang sama tertulis di
Pasal 4 dan selalu diingatkan setiap LK.
Kedua, Arif Berbudaya, maksudnya seorang kader HMI
harusnya berilmu juga bijaksana dalam menentukan dan memahami pergolakan budaya
yang kini marak terjadi dalam skala lokal bahkan skala global. Tugas kader HMI
bukanlah membela satu budaya dan mengalahkan yang lainnya, tetapi yang harus
dilakukan kader HMI adalah mencari inti sari kebaikan disetiap budaya,
mensinergikan keberagaman budaya dan mengharmonikan relasi agama dengan budaya.
Saya melihat ada masalah besar dengan tema
kebudayaan, fitrah kita sebagai manusia
yang berbudaya selalu dikerdilkan lewat arogansi dan mau menang sendiri.
Toleransi selalu merasa dijalan buntu karena tak pernah mencoba berdialog dan
berbagi. Setiap entitas kebudayaan selalu menyendiri, seolah-olah kita sebagai
manusia memang berbeda dan tak bisa disatukan dalam harmoni perbedaan. Kita
harus menyegarkan kembali “Bhinneka Tunggal Ika” agar tidak sekedar menjadi
memimpi indah atau hanya dituangkan saat berada diruang ujian.
Dari ragam diskusi dan membaca, saya memahami bahwa
manusia tidak bisa dilepaskan dari atribut sosial dan kebudayaannya. Manusia
tentunya bukanlah seragam yang sama, keragaman sudah menjadi fitrah manusia.
Ketakutan kita terhadap perbedaan budaya diakibatkan karena kurangnya wawasan
terhadap bermacam-macam budaya manusia. Ini jelas merupakan kebodohan kita,
ketidaktahuaanlah yang membuat kader berfikir picik, penuh prasangka dan
bertindak diskriminatif atas keragaman di atas dunia.
Ketiga sebagai mesin perjuangan, Mandiri Berekonomi,
maksudnya adalah tidak bergantung pada
orang lain atau organisasi lain karena ketika kita bergantung disaat itu pula
hilangnya Independesi dan kearifan
seorang kader HMI. Cita-cita ideal perjuagan juga harus disokong kekuatan
ekonomi dalam pratiknya, ini merupakan dampak logis dari sebuah perjuangan yang
akan selalu tarik-menarik dengan pengorbanan. Maka dari itu, semua elemen dalam
tubuh HMI haruslah bergotong royong membangun unit usaha sebagai bentuk
kemandirian organisasi perjuangan yang bergerak mewujudkan masyarakat adil
makmur.
Sebuah organisasi sebesar HMI, kekuatan ekonomi
merupakan salah satu tiang penyangga sebuah eksistensi organisasi. Berjalan
tidaknya perjuangan organisasi sedikit banyak akan sangat dipengaruhi oleh kuat
atau lemahnya dana operasional dalam menjalankan misi dan program organisasi.
Berjalan lancar atau tersendatnya suatu kegiatan dalam berorganisasi juga
tergantung pada sedikit atau banyaknya dana yang bisa mendukung kegiatan
tersebut. Namun, pengertian semacam sayangnya mengalami salah kamprah dalam
praktik kinerja kader HMI sekarang. Kader kini hanya menjadi “pengemis” kepada
para KAHMI, menjadi makelar proyek dengan berbagai jenis proposal yang tidak
bisa dipertanggungjawabkan. Ini jelas tanda bahaya, bila tradisi tersebut tetap
dilajutkan tentunya akan menjadi parasit yang merusak proses kaderisasi karena
mendidik kader untuk pragmatis dan oportunis.
Sungguh disayangkan bila tradisi buruk itu masih
bertahan. Saya memiliki mimpi untuk memutus rantai “pengemis” yang menjangkit
cukup lama di HMI dengan melakukan kolaborasi KAHMI dengan Kader Komisariat
untuk membangun bisnis sosial maupun koperasi yang akan dikelola secara
“professional”. Dengan tata kelola bisnis sosial maupun koperasi, KAHMI tidak
lagi memberikan bantuan secara berkala melainkan hanya mensinergikan modal
diawal perintisan usaha juga menjadi pengawas sedangkan kader komisariat
mengelola modal dan bertanggungjawab mengembangkan usaha tersebut dengan
transparasi pendapatan dan alokasi keuntungan kepada pelaksanaan pengkaderan
disetiap komisariat. Dengan pola demikian, HMI tidak akan mendidik generasi
pengemis tetapi akan mencetak pemimpin yang
berani mandiri.
Mengembalikan Jati Diri HMI bukanlah hal yang mudah,
butuh waktu dan kesabaran dalam mewujudkan independesi politik, kearifan budaya
dan kemandirian ekonomi. Butuh kerja keras untuk mengkonsulidasikan kesemua
elemen di HMI mulai dari komisariat, cabang, badko, PB bahkan KAHMI. Mungkin
ada beberapa kalangan meragukan dengan gagasan tersebut namun dengan iman
sebagai langkah awal perjuangan, saya yakin hal ini dapat terwujudkan. Sudah
Saatnya HMI untuk rakyat, Sudah saatnya masyarakat desa adil makmur
terwujud. Yakin Usaha Sampai. Amien.
*Khusnul Imannudin (ketua HMI Badko Jateng-DIY 2013-2015)
*Khusnul Imannudin (ketua HMI Badko Jateng-DIY 2013-2015)