- Back to Home »
- Opini »
- Membangun Sinergi Pelaksanaan Syariat
Posted by : Unknown
Thursday, September 19, 2013
SEJAK deklarasi pelaksanaan syariat Islam di Aceh, 12
tahun lalu, telah banyak membawa hasil positif bagi masyarakat luas, tentunya
bagi orang-orang yang paham akan indahnya syariat Islam. Namun bagi orang yang
tidak mengerti substansi syariat, hal ini akan menjadi momok yang menakutkan
bahkan bertendensi paranoid. Supaya masyarakat semua paham akan indahnya Dinul
Islam, Pemerintah Aceh dalam hal ini Dinas Syariat Islam secara kontinyu telah
melakukan sosialisasi nilai-nilai syariat yang humanis kepada masyarakat. Namun
usaha kreatif ini tidak maksimal tanpa dukungan dan sinergis dari semua pihak
di Aceh, di antaranya media, ormas Islam dan seluruh stakeholders.
Media adalah satu komponen penting dalam menyampaikan
informasi kepada masyarakat, termasuk dalam konteks sosialisasi pelaksanaan
syariat Islam ini di Aceh. Sebagai penyampai informasi media sangat berkorelasi
dengan misi Dinas Syariat Islam. Media menjadi sangat penting karena selama ini
salah satu faktor kendala penegakan Syariat Aceh karena belum sampainya
informasi syariat secara komprehensif kepada masyarkat. Satu fungsi yang harus
dimainkan oleh media dalam kontek ini adalah fungsi transmisi nilai. Media
harus menggambarkan nilai Islam dan kondisi ril yang ada dalam masyarakat,
bukan malah mempopulerkan nilai-nilai yang bertentangan dengan semangat/spirit
syariat Islam di Aceh.
Mazhab ‘developmentalis’
Dalam sejarah perkembangan media kita pernah mengenal
mazhab developmentalis, di mana media selalu membantu kinerja Pemerintah dalam
program-program pembangunan. Hal ini pernah diterapkan di Malaysia, khususnya
pada era PM Mahathir Mohammad. Kemajuan Malaysia hari ini tidak terlepas dari
peran media dalam mensosialisasikan program Pemerintah, misalnya sosialisasi
budaya antre, etika dalam berlalulintas, hidup bersih dan beberapa kebiasaan
masyarakat lainnya menjadi arah pemberitaan media yang pada gilirannya mampu
mengubah karakteristik masyarakat Malaysia.
Selain media, elemen terpenting lainnya yang harus
bersinergi adalah ormas Islam. Ormas Islam merupakan pihak yang terdekat
interaksinya dengan masyarakat. Karenanya keberadaan ormas Islam sangat
strategis untuk menyamakan pemahaman tentang syariat dalam masyarakat Aceh. Secara
umum ormas Islam di Aceh begitu getol memperjuangkan penegakkan Syariat di
Aceh, melawan anasir-anasir negatif tentang syariat terkait adanya gerakan
untuk melemahkan gerakan syariat di Aceh. Gerakan mereka sangat sistemik dengan
menggunakan media sosial seperi facebook, twitter, dan lain-lain. Kelompok penebar anasir negatif syariat ini
sangat serius mengadakan diskusi terkait pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang
rata-rata kapasitas wawasan keislaman mereka masih diragukan. Hasil diskusi
mereka yang bias itu kemudian dikutip berbagai media nasional dan luar negeri
dengan format pemberitaan yang sangat beragam terhadap pelaksanaan syariat
Islam di Aceh. Sebagai langkah antisipasi terhadap kelompok tersebut, ormas
Islam dan pemerintah harus bersinergi dalam memperkuat akses dan mewarnai media
massa dan media sosial dengan persepsi positif terhadap Islam.
Untuk maksud tersebut yang perlu dilakukan segera adalah
mengevaluasi kerja-kerja yang pernah dilakukan oleh ormas Islam. Evaluasi ini
sangat penting agar ormas Islam tidak terjebak pada sikap ghurur (lupa diri)
dengan menganggap dirinya telah banyak berbuat, berkarya atau sikap-sikap
lainnya yang membahayakan bagi umat Islam itu sendiri. Kemudian, self
correction (koreksi diri), seperti kata Umar bin Khattab: “Hitunglah diri
kalian, sebelum kalian dihitung, dan timbanglah amal perbuatan kalian sebelum
kalian ditimbang.” Maka hendaklah kalangan ormas Islam selalu mengadakan self
correction pada dirinya, untuk mengevaluasi gerak-geriknya selama ini dan meluruskannya
jika terdapat penyelewangan dan bersedia menerima kritikan meskipun pahit.
Kehadiran Ormas Islam sesungguhnya bukan milik
kelompoknya sendiri, tetapi ia juga milik Islam seluruhnya, juga milik generasi
Islam yang akan datang, maka menjadi haknya juga untuk mengetahui letak
kekuatan dan kelemahannya, untuk dijadikan sebagai pelajaran. Ketiga,
menghindari perpecahan, karena selama ini yang masih melekat pada ormas Islam
adalah perpecahan dan perselisihan. Penyakit ini memang kerap lekat dengan ormas.
Keadaan ini menyebabkan mudahnya terjadi konflik, mempermasalahkan hal-hal yang
tidak prinsip, yang tentu sangat rentan untuk memunculkan perpecahan dan
perselisihan
Namun demikian, untuk syariat Islam di Aceh ormas Islam
telah banyak berbuat, malah kontribusi yang telah diberikan oleh ormas Islam
untuk umat dan umat manusia tidak bisa dipandang sebelah mata begitu saja.
Meskipun ormas Islam kadang-kadang bekerja di bawah naungan situasi dan keadaan
yang sulit, namun tidak seorang pun yang bisa menyangkal derma bakti yang telah
diberikan oleh ormas Islam. Ingat, tidak seorang pun pengamat yang adil yang
dapat mengatakan bahwa peran ormas Islam dalam penegakkan syariat Islam telah
membeku dan mengalami ketuaan.
‘Grand design’ syariat
Dinas Syariat Islam Aceh telah menggagas grand design
Syariat Islam Aceh, seperti disampaikan Prof Dr Syahrizal Abbas (Kadis Syariat
Islam Aceh) pada “Rakor Palaksanaan Dinul Islam” di Banda Aceh, pada 10-11 Juni
2013 lalu. Hemat saya, untuk merumuskan frame (kerangka) grand design ini saja
perlu waktu tiga sampai lima tahun, sebab harus melibatkan semua stakeholder di
Aceh. Karenanya perlu merumuskan beberapa kerangka prioritas untuk jangka waktu
3-5 tahun ke depan: Pertama, mendesain hukum publik yang mempuni dan apik
seperti hukum muamalah, ekonomi syariah, termasuk hukum jinayah dan lainnya;
Kedua, tata kelola pemerintahan yang islami, pelayanan birokrasi yang
bersyariat; Ketiga, menata pendidikan yang islami baik dari aspek kurikulum
maupun lingkungan pendidikan, dan; Keempat, menginternalisasikan hukum adat
dalam bingkai syariat.
Saya rasa itulah kerangka prioritas yang harus
dirumuskan terlebih dulu, sebab jangan sampai kata pepatah “maksud hati memeluk
gunung, apa daya tangan tak sampai”. Grand design ini sebagai peta jalan (road
map) pengimplementasian syariat Islam di Aceh. Peta jalan tersebut dapat
membangun masyarakat Islam Aceh dalam menentukan tahapan-tahapan pelaksanaan
syariat, sehingga jelas aspek apa dari kehidupan masyarakat Aceh yang
diperlukan saat ini dan masa depan. Ketiadaan peta jalan ini telah menyebabkan
kegalauan masyarakat termasuk pemerintah dalam menjawab berbagai persoalan
masyarakat dengan solusi syariat. Sehingga di beberapa daerah kabupaten/kota di
Aceh telah bertindak sporadis dalam mencari solusi syariat.
Kita harapkan berbagai kegalauan itu akan terobati
dengan lahirnya grand design sebagai pedoman bagi seluruh stakeholder Aceh
dalam merancang program pembangunan yang berbasis syariat Islam. Seluruh Dinas,
Badan dan Instansi terkait lainnya harus membuat program jangka pendek,
menengah dan jangka panjang dalam bidang-bidang pembangunan berbasis syariah.
Semua pihak harus bersinergi dan membangun komitmen bersama dalam rangka
memberikan penguatan kepada masyarakat dan kelembagaan guna mendukung pelaksanaan
syariat Islam ini di Aceh. Allahu a’lam.
*Dr. Munawar A.
Djalil, MA, Pegiat Dakwah, dan Kabid. Bina Hukum pada Dinas Syariat Islam
Aceh. Email: aburiszatih@yahoo.co.id
Sumber: Serambi Indonesia