- Back to Home »
- Opini »
- Menelisik Sejarah Pekan Kebudayaan Aceh (PKA)
Posted by : Unknown
Friday, September 20, 2013
PIDATO
yang disampaikan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) RI
itu, saat menutup Pekan kebudayaan Aceh (PKA) I pada 1958, bukan hanya sekadar
ingin menyenangi perasaan masyarakat Aceh yang baru saja usai menghadapi
konflik DI/TII. Melainkan apresiasi itu lebih pada kesakralan dan keseriusan
pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh itu sendiri. Digelarnya PKA I ini memang
bukan sekadar ajang hiburan pesta budaya rakyat, tapi lebih pada penggalian
kembali nilai-nilai kebudayaan Aceh yang hilang, baik disebabkan oleh tekanan
Belanda semasa perang Aceh, maupun akibat pengaruh konflik (DI/TII) yang
melanda Aceh tak lama setelah Indonesia merdeka.
Selain itu, tujuan digelarnya PKA juga ingin merumuskan kembali
bagaimana mengembangkan pembangunan Aceh yang berlandaskan nilai-nilai budaya
masyarakat. Karena itu, jauh sebelum PKA I digelar, satu tahun sebelumnya atau
tepatnya pada 1957 dibentuk sebuah lembaga khusus yang dimanai Lembaga
Kebudayaan Aceh yang diketuai oleh Mayor T Hamzah. Lembaga inilah yang bekerja
selama lebih kurang satu tahun untuk mempersiapkan pelaksanaan PKA I pada 1958,
yang kala itu memberi arti penting bagi pengembangan kebudayaan dan pembangunan
daerah Aceh setelah PKA itu dilaksanakan.
Piagam Blangpadang
Satu hasil penting yang ditelorkan dari pelaksanaan PKA I dulu adalah lahirnya “Piagam Blangpadang”, yang isinya antara lain, menggali dan menghidupkan kembali budaya tradisional dan adat Aceh adalah bagian terpenting dalam setiap gerak pembangunan Aceh dan masyarakatnya. Implementasi “Piagam Blangpadang” ini terus ditindaklanjuti hingga 14 tahun kemudian, yang ditandai dengan penyelenggaraan PKA II pada 1972, yang berlangsung cukup meriah dan mengesankan.
Satu hasil penting yang ditelorkan dari pelaksanaan PKA I dulu adalah lahirnya “Piagam Blangpadang”, yang isinya antara lain, menggali dan menghidupkan kembali budaya tradisional dan adat Aceh adalah bagian terpenting dalam setiap gerak pembangunan Aceh dan masyarakatnya. Implementasi “Piagam Blangpadang” ini terus ditindaklanjuti hingga 14 tahun kemudian, yang ditandai dengan penyelenggaraan PKA II pada 1972, yang berlangsung cukup meriah dan mengesankan.
Demikian pula PKA III yang dilaksanakan 16 tahun kemudian atau
tepatnya pada 1988. Penyelenggaraan PKA III ini juga bukan PKA main-main.
Landasan dan tujuan pelaksanaannya malah lebih luas dari dua PKA sebelumnya.
PKA III selain ingin menggali dan menguatkan kembali nilai-nilai tradisi
masyarakat, juga mengangkat persoalan ideologi, ekonomi, sosial budaya, hankam
dan agama. Sehingga masalah-masalah yang sebelumnya menjadi kecurigaan
masyarakat Aceh yang bersifat negatif, dapat diubah menjadi positif dalam
mewujudkan kemajuan pembangunan Aceh.
Keseriusan pelaksaan PKA III juga tercermin dalam mengangkat
topik-topik yang disikusikan sebagai bagian dari even PKA, di antaranya Seminar
Budaya dengan tema “Wajah Rakyat Aceh dalam Lintasan Sejarah”, “Hari Depan
Kebudayaan Aceh”, “Identitas Kesenian Aceh di Tengah Pengembangan Budaya
Modern” dan “Peranan Sastra Aceh dalam Sastra Indonesia”, dan lain-lain.
Karenanya tak heran, bila di era 1980-an landasan pembangunan Aceh selalu
bersentuhan dengan nilai-nilai kebudayaan Aceh. Kantong-kantong budaya dan
sanggar-sanggar rakyat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Aceh saat
itu-mulai dari hilir ke hulu yang dusupport oleh pemerintah Aceh semasa
Gubernur Ibrahim Hasan.
Sayangnya, di tengah semaraknya pertumbuhan kantong-kantong seni
dan budaya Aceh saat itu, Aceh harus kembali menghadapi konflik yang puncaknya
diberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) untuk Aceh. Sejak itu, apa yang telah
dibangun dan dibina pemerintah Aceh dalam mengembangkan kembali nilai-nilai
kebudayaan Aceh harus terhenti akibat konflik Aceh yang terus memuncak.
Sanggar-sanggar seni dan kantong-kantong budaya yang sedang tumbuh dan
berkembang di daerah sebagai bagian dari pembangunan kultur Aceh saat itu satu
persatu harus gulung tikar karena situasi keamaan Aceh yang tidak memungkinkan
lagi para seniman-seniman berkarya.
Semangat membangun kebudayaan Aceh yang terkandung dalam PKA III
dicoba gagas kembali setelah 16 tahun kemudian, yaitu diselenggarakannya PKA IV
sewaktu Gubernur Abdullah Puteh, yang pelaksanaannya juga sangat serius dan
sukses. Karena persiapan PKA IV ini juga tidak dadakan, persiapannya tidak satu
bulan. Tapi telah dirancang jauh sebelumnya. Apalagi untuk melaksanakan PKA IV
harus dibangun lokasi khusus “Miniatur Aceh” yang sekarang dinamai Taman Ratu
Safiatuddin, sebagai buah karya hasil PKA IV yang sangat momental.
Akan tetapi, ruh dari semangat pelaksanaan PKA mulai rusak
ketika diselenggarakan PKA V pada 2009.
Pelaksanaan PKA V ini tidak lagi
melibatkan tokoh-tokoh pemikir budaya lokal (Aceh) untuk merancang sebuah
pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh yang benar-benar sakral dan serius. Semua
even kegiatan PKA V ditenderkan dan dilaksanakan oleh orang-orang (perusahaan)
dari Jakarta yang sama sekali tidak memahami tradisi lokal (Aceh) yang harus
digali dan diangkat tampil dalam PKA V.
Itu sebabnya, mengapa PKA V tidak meninggalkan jejak yang
berarti bagi pembangunan cultural Aceh setelah PKA itu dilaksanakan. Malah yang
terkesan dari pelaksanaan PKA V tak ubahnya seperti pelaksanaan pameran-pameran
produk (expo) yang mengatasnamakan PKA. Pelaksanaan PKA V 2009 secara
pemberdayaan ekonomi tentu sangat merugikan kaum seniman lokal kita di Aceh.
Yang menguntungkan adalah cokong-cukong seni yang terlibat dalam even PKA itu.
Lalu, apakah pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA VI) yang akan digelar 20-29
September 2013 ini akan terulang seperti PKA V lalu?
Semestinya, perhelatan PKA VI sebagai pesta budaya rakyat Aceh
yang sangat akbar ini dengan waktu pelaksanaan tak sampai sebulan lagi, panitia
sudah bekerja ekstra dengan berbagai persiapan perhelatan yang matang.
Brosur-brosur PKA VI yang sudah tersebar di mana-mana, termasuk di hotel-hotel
dan di tempat-tempat umum lainnya sebagai sosialisasi bahwa di Aceh akan
berlangsung sebuah perhelatan pesta budaya rakyat yang sangat besar, yaitu
Pekan Kebudayaan Aceh.
Sehingga gaung PKA VI yang akan digelar akan terus menggema dan
menjadi perhatian rakyat, tak hanya di Aceh, tapi sebaran informasi itu hingga
ke luar Aceh untuk menarik perhatian masyarakat nasional dan manca negara untuk
datang menyaksikannya.
Wajar dipertanyakan
Apalagi PKA VI yang bakal dilaksanakan bertepatan dengan program Visit Aceh Year 2013, tentu akan sangat strategis bila PKA VI ini disosialisasikan jauh-jauh hari di dalam maupun luar negeri. Namun ini tidak terjadi dalam persiapan PKA yang bakal digelar pertengahan September bulan depan. Bila demikian kondisi persiapannya, maka wajar bila dipertanyakan, kontribusi apa yang bakal dihasilkan dari PKA VI dalam kelanjutan pembangunan kebudayaan Aceh setelah PKA itu usai dilaksanakan?
Apalagi PKA VI yang bakal dilaksanakan bertepatan dengan program Visit Aceh Year 2013, tentu akan sangat strategis bila PKA VI ini disosialisasikan jauh-jauh hari di dalam maupun luar negeri. Namun ini tidak terjadi dalam persiapan PKA yang bakal digelar pertengahan September bulan depan. Bila demikian kondisi persiapannya, maka wajar bila dipertanyakan, kontribusi apa yang bakal dihasilkan dari PKA VI dalam kelanjutan pembangunan kebudayaan Aceh setelah PKA itu usai dilaksanakan?
Sebenarnya, even PKA V yang sudah digelar dan PKA VI yang bakal
digelar tahun ini adalah momen penting dalam menentukan kembali arah masa depan
pembangunan kebudayaan masyarakat Aceh. Karena dua even PKA ini, Aceh telah
mengalami perubahan signifikan, baik secara tradisi, adat dan budaya, maupun
secara kepemimpinan pemerintahan yang harus merujuk pada UUPA. Untuk
mengimplementasikan semua amanat UU itu, Aceh hari ini harus menata kembali
kehidupan sosial budaya masyarakatnya menuju masyarakat Aceh yang sejahtera,
berbudaya dan bermartabat.
Saya kira itulah yang menjadi ruh dari tujuan pelaksanaan Pekan
Kebudayaan Aceh yang sesungguhnya. Jadi, PKA bukan sekadar mengundang
Dinas-dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten/kota di seluruh Aceh untuk
mengisi anjungannya masing-masing yang telah tersedia di Taman Ratu Safiatuddin
Banda Aceh. PKA VI ini harus dipersiapkan secara matang dengan melibatkan
tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir kebudayaan yang mampu merumuskan konsep
bagaimana membangun nilai budaya masyarakat di tengah kepentingan pembangunan
fisik material.
* Nab Bahany As, Budayawan/Ketua Lembaga
Studi Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat (LSKPM) Aceh, tinggal di Banda
Aceh. Email: nabbahanyas@yahoo.co.id
Sumber: Serambi
Indonesia