- Back to Home »
- Cerpen »
- Terapi Ayat-ayat Tuhan
Posted by : Unknown
Friday, September 20, 2013
Sebuah desa di pinggiran Kutaraja menjadi tempat hunianku saat
ini. Rumah-rumah tsunami bantuan Arab Saudi berdiri kokoh berjejeran
rapi. Hanya hunian sederhana, namun sangat nyaman bagi penghuninya, ditambah
lagi masyarakatnya yang saling menghargai dan menghormati.
Namun, akhir-akhir ini kenyamanan itu mulai terusik. Berubah
menjadi kebisingan hanya gara-gara ada satu keluarga pendatang baru. Mereka
baru saja pindah ke desa kami. Rumah mereka pas bersebelahan dengan rumahku.
Jadi, sekarang mereka resmi menjadi tetangga baruku.
Bising, sungguh sangat bising. Hobi satu keluarga itu adalah
menghidupkan musik dengan volume sangat keras serta berkarokean ria dengan
suara berantakan tidak beraturan. Hal inilah yang membuat suasana desa kini
mulai tidak nyaman lagi. Suara musik dan karoke yang sangat keras hampir di
setiap jam selalu membuat kepalaku ingin pecah. Bukan malah menjadi hiburan
dengan suara merdu nan indah, namun menjadi malapetaka dan musibah.
Parahnya lagi, ruang karoke rumah mereka pas berdempetan dengan
kamar tidurku. Kenyamanan hidupku kini spontan berubah drastis dari kehidupan
istana menjadi kehidupan neraka. Hidupku kini mulai suram ditemani suara-suara
hancur berantakan. Yang sangat merisihkan lagi, hampir seluruh anggota keluarga
mereka memiliki perangai yang sama, mulai dari orang tua sampai anak-anaknya.
Semuanya hobi karokean dengan suara bising yang sangat keras.
Hari paling suram adalah Sabtu dan Minggu. Betapa tidak, jika
hari-hari lain mereka hanya bernyanyi dengan suara single saja, namun setiap malam
Sabtu dan Minggu akan ada kolaborasi antara orang tua dan anak-anaknya. Dangdut
adalah lagu favorit yang sering didendangkan.
Aku sebenarnya tidak membenci lagu dangdut, bahkan aku sangat
menyukai nyanyiannya Bang Rhoma. Namun saat lagu merdu Bang Rhoma mereka
nyanyikan dengan irama hancur dan merusak pendengaran seluruh makhluk di alam
semesta, ini sungguh “terlalu.”
![]() |
Dan lebih parahnya lagi, yang terusik hidup bukan manusia
saja, hewan-hewan juga mengalaminya. Bayangkan saja, setelah mereka
pindah ke kampung kami, suara ayam sudah jarang terdengar di kala Subuh. Burung
pun tidak lagi berkicau di pagi hari. Barangkali ini adalah bentuk protes
mereka atas ketidaknyamanan hidup yang mulai terusik.
Aku memang pernah sekali menegur anak perempuannya yang masih
remaja agar mengecilkan sedikit volume musiknya supaya tidak menggangu tetangga
di sekitar. Kujelaskan bahwa banyak anak-anak yang masih bayi akan terganggu,
juga ada orang tua yang butuh istirahat dengan nyaman tanpa ada kebisingan.
Namun parahnya, si gadis tersebut malah mengajakku berkaroke bersama. “Abang
ingin gabung karokean. Yuk bang ikutan, asik bang…..lanjotttttt,” ujar si gadis
tetanggaku itu. Aku hanya bisa menjawab dengan istighfar dalam hati. Yah,
memang aku sangat percaya bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Orang tua
memang menjadi panutan bagi anak-anaknya. Jika orang tuanya saja tidak
menghargai dan menghormati orang lain, lantas bagaimana dengan anak-anaknya.
Sebenarnya sudah banyak masyarakat yang menegur dan menasehati
mereka agar musik karoke cukup didengar oleh keluarga sendiri saja, tanpa harus
menggangu tetangga sekampung. Namun tetap saja tidak mempan, barangkali hatinya
sudah beku. Masyarakat banyak mengeluh pada keuchik selaku kepala desa tentang
keributan musik setiap sore dan malam. Pak keuchik pun mulai memikirkan cara
agar masalah ini bisa diselesaikan secara damai. Yang penting tidak boleh ada
kekerasan dan kekasaran dalam menasihati.
Memang di kampungku belum pernah terjadi kekerasan di setiap
penyelesaikan masalah, karena memang banyak warga di sini yang berpendidikan
dan beragama. Biasanya jika ada warga yang bersalah dan bermasalah, maka tidak
langsung main tangan, apalagi main bakar. Memang menyelesesaikan masalah
dengan kepala dingin harus banyak bersabar dan membutuhkan waktu agak sedikit
panjang, tapi pasti akan membawa kebaikan bagi semua pihak.
Malam Minggu pun tiba. Aku mulai mencoba merenungkan dengan
kepala dingin cara terbaik yang harus kulakukan agar suara bising karokean bisa
berhenti dengan damai. Saat sedang kusyuknya berkonsentrasi merenung di
kamarku, tiba-tiba aku dikejutkan dengan ulah tetanggaku yang kembali
merayakan pesta karokean dengan kolaborasi satu keluarga.
Suara musik semakin menjadi-jadi memecahkan keheningan malam.
Jika ada satu bom diledakkan di kampungku, sepertinya akan kalah
besar dengan suara musik karokean mereka. Akhirnya Tuhan tunjukkan sebuah kunci
jawaban tentang cara menghentikan musik itu.
“Aku harus menghidupkan musik tandingan, ya musik tandingan,”
ujarku dalam hati.
Segera kubukakan jendela rumahku. Kuletakkan speaker musik pas
di atas jendela. Kuhidupkan laptop dan kusambungkan ke load speaker.
Akhirnya, ketemukan sebuah alunan indah yang akan
bertanding melawan alunan dangdutan masik karokean, yaitu bacaan ayat suci
Alquran. Baru lima menit lantunan ayat suci kuhidupkan, tiba-tiba terdengar
suara seorang ibu berteriak dan menyindirku,”Cepat kali malam Jumat ya, masih
malam minggu sekarang.” Namun tak kuhiraukan, tetap saja alunan firman Tuhan
kubiarkan menyala dengan volume maksimal. Tiba-tiba dari arah rumah tetanggaku
yang lain juga terdengar alunan indah, sama persis seperti di rumahku.
Ternyata dia mengikutiku menghidupkan ayat-ayat Tuhan di VCD rumahnya dengan
volume yang besar juga.
Berselang beberapa menit saja, suara alunan indah Syeh Saad
Sa’id Al-Ghamidi juga terdengar indah dan merdu dengan volume maksimal dari
rumah Pak Muzakkir dan Bu Zahra.
Akhirnya suara karokean tetanggaku mulai terkalahkan oleh
ayat-ayat Tuhan dan yang membuatku kembali kagum adalah terdengarnya
kembali alunan indah yang paling keras dari volume sebelumnya. Ternyata suara
itu berasal dari arah meunasah. Iya, suara ayat Alquran terdengar keras keluar
dari mulut TOA pengeras suara di meunasah.
Malam itu, indahnya alunan ayat-ayat Tuhan telah menghiasi
seluruh sudut kampungku. Jika biasanya malam Minggu terdengar suara bising
karokean, namun malam itu justru yang terdengar merdunya lantunan
ayat-ayat Tuhan. Aku berpikir bahwa ini adalah cara yang sangat indah dilakukan
untuk mengalahkan kezaliman. Kini kampungku kembali damai tanpa ada lagi
kebisingan. (EL/YL)
*Zamzami Zainuddin, staf
pengajar di lembaga bahasa (LDC) IAIN Ar-Raniry
Sumber: Serambi Indonesia