Archive for 2013-10-06

Buku Dan Masa Depan Peradaban Kita



Tanggal 30 Desember 2007 saya pergi ke toko buku Gramedia, Matraman, Jakarta. Saya terhenyak beberapa saat: kemacetan luar biasa di depan toko buku itu. Tidak seperti biasanya pengunjung meledak luar biasa banyak. Sangat banyak!

Usut punya usut rupanya Gramedia dalam rangka peresmian gedung barunya yang megah itu melakukan discount 30 persen atas buku-bukunya. Ketika saya berkunjung lagi ke sana pada 2 Januari 2008 ternyata pengunjungnya masih juga tetap luar biasa banyak. Sungguh spektakuler!

Apa yang dapat kita catat dari fenomena ini? Pertama, minat baca bangsa Indonesia, tidak seperti yang kita duga, sejatinya sangatlah besar. Tesis Amin Sweeney dalam A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World (1987) yang menyatakan bahwa bangsa ini bertradisi oral dan mendengar, alias tidak membaca, adalah salah. Bangsa ini sebenarnya berpotensi menjadi bangsa yang rakus membaca.

Kedua, buku di negeri ini dalam konteks daya beli masyarakat sangatlah mahal. Terbukti begitu ada discount 30 persen pengunjung sedemikian membludak. Fenomena seperti ini juga tampak dalam setiap kali digelar Book Fair di Jakarta dan kota-kota lainnya di mana harga buku didiskon antara 20-30 persen.

Di toko-toko buku murah seperti Social Agency dan Togamas di Yogyakarta pengunjung juga selalu penuh sesak. Sebuah fenomena yang sangat mengesankan! Buku, seperti kata Khaled Abou El- Fadl dalam bukunya Conference of the Book (University Press of America, Lanham, 2001) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Musyawarah Buku (Serambi,2002), adalah simbol peradaban.

Perdaban, kata El- Fadl, tidak dibangun di atas kenyamanan dalam kelambanan dan kebodohan. Peradaban selamanya dibangun di atas penderitaan para syuhada perbukuan! Sangat meyakinkan, bangsa ini bangsa yang besar dan berpotensi untuk maju karena ternyata menyenangi buku dan gemar membacanya.

Hanya karena ketololan para pemimpin bangsa sehingga gagal membangun ekonomi nasional untuk mengentaskan bangsanya dari kemiskinanlah yang membuat bangsa ini tidak sempat membaca buku, apatah lagi membelinya! Buktinya begitu ada pasar buku murah dengan discount mereka menyerbunya dan melahapnya.

Kebobrokan ekonomi telah membuat bangsa ini tidak mampu untuk membeli buku yang mengakibatkan keterbelakangan di semua bidang. Rasanya tidak sulit untuk mendorong bangsa ini maju dan berjaya. Jika kita memiliki pemimpin bangsa yang ikhlas, tulus, dan sedikit saja mempunyai visi, kita akan menjadi bangsa yang sangat maju. Semua prasyarat untuk maju dan mandiri ada di negeri ini.

Sumber daya alamnya lengkap dan melimpah. Negara ini memiliki apa saja untuk maju dan mandiri: buminya subur dan menyimpan cadangan minyak, gas, batubara, dan tambang-tambang lainnya. Ikan, hewan, dan segala macam flora serta fauna untuk keperluan hidup tersedia. Seandainya bangsa ini -tidak seperti bangsa lainnya- diisolasi oleh dunia internasional sekalipun akan tetap survive.

Sementara sumber daya manusianya juga besar dan potensial. Mereka berpotensi untuk maju dan besar karena ternyata mau membaca buku, sang induk dan penggerak peradaban. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang full hearing seperti sinyalemen Amin Sweeney, melainkan bangsa yang beraksara.


Tradisi keberaksaraan yang hebat ini telah ditenggelamkan oleh kemiskinan dan kemelaratan sebagai akibat dari ketidakbecusan pemimpin-pemimpin bangsa menghela negeri yang sejatinya kaya raya dan mempunyai apa saja ini. Tapi tetaplah optimis! Negeri ini telah memulai jalan yang benar ketika dalam Konstitusi-nya mengharuskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen. Jika kita benar-benar ingin maju jadikan buku sebagai panglimanya!

Negara harus mendorong industri buku agar lebih murah seperti murah meriahnya buku-buku bermutu di negara India. Negara ini bukan hanya harus menghapus pajak buku, melainkan juga harus memberikan subsidi harga kertas buku. Oleh karena bangsa ini masih konsumen -belum produsen- ilmu, maka kita harus memulainya dengan menumbuhkan tradisi menghargai dan menghormati para penulis buku.

Untuk menjadikan lebih dramatis kita harus mengatakan (jangan ketawa!) "bayarlah penulis dan penterjemah buku dengan emas seberat buku yang ditulisnya seperti yang dilakukan Khalifah Dinasti Abbasiyah Harun Al- Rasyid (786-809 M) di jaman keemasan peradaban Islam".

Negara ini harus membangun banyak perpustakaan yang indah dan megah di setiap penjuru wilayah. Pasar-pasar buku murah dan Book Fair harus digelar sebanyak dan sesering mungkin di setiap kota di seantero tanah air ini. Dorong dan hargailah penerbit-penerbit dan toko-toko buku sehingga mereka dengan bangga memotong harga buku sampai terjangkau oleh rakyat yang terus merosot daya belinya itu.

Akhirnya, hai para pemimpin bangsa, lihatlah! Betapa sederhananya sebenarnya langkah yang harus ditempuh untuk membangkitkan bangsa ini menuju kemajuan dan keadaban. Percayalah!

*Hajriyanto Y Thohari, Pecinta buku dan anggota Komisi I DPR

Sumber: Okezone.com
Friday, October 11, 2013
Posted by Unknown
Tag :

Pendekatan Historis atas Perkembangan Islam


Perjuangan Islam sebagai gerakan sosial sebagai kumpulan ajaran sudah berusia lama sekali di Indonesia. Sejak Abu Zaid al-Sirafi dan Sulaiman dalam catatan perjalanannya di Kepulauan Wak-Wak (yang oleh para sejarawan dianggap sebagai nama sebuah kepulauan di Filipina), daerah Nusantara juga menjadi sasaran tulisan para sejarawan.

Hanya nama Nusantara, sebagaimana juga kawasan itu, tidak begitu dikenal waktu itu. Setidak-tidaknya sebuah nama dipakaikan untuk sebuah masjid di daratan Cina, yaitu Masjid Baba Waka, yang oleh para sejarawan diyakini sebagai masjid yang dibangun Panglima Islam Sa'ad bin Abi Waqas pada abad pertama hijriah (ke-7 masehi) di zaman khalifah Utsman bin Affan.

Sayang, kita tidak memiliki catatan tentang, apakah para pembawa agama Islam ke daratan Tiongkok itu juga menyebarkan agama mereka di kawasan ini. Yang kita ketahui hanyalah catatan historis tentang para raja di Indonesia bagian timur, yang beberapa abad setelah itu mempunyai raja-raja muslim di Ternate dengan gelar sultan. Sementara di bagian barat kawasan ini, Islam datang melalui dua tempat di India.

Arah pertama, datang dari Gujarat di kawasan Maharastra sekarang. Gelar raja-raja mereka juga tidak diketahui secara pasti, karena itu mereka menggunakan gelar sultan. Sayyid Qudratullah Fatimi, dalam Islam Comes to Malaysia yang terbit tahun 1960-an, menyatakan bahwa Islam yang sampai ke kawasan Nusantara (mungkin belakangan datang pada abad ke-15 masehi) dari Bengal Barat di pantai timur India.

Oleh sebab itu, raja-raja di kawasan barat Nusantara menggunakan gelar Malik al-Zahir. Contohnya adalah raja-raja di Samudra Pasai (Aceh). Yang menarik bahwa kaum muslimin di Gujarat bermahzab fiqh Hanafi, sedangkan di pantai timur bermahzab Syafi'i. Cerita para juru kunci secara lisan menunjukkan bahwa seorang yang bernama Syaikh Jamaluddin Husein al-Akbar datang dari Gujarat ke Aceh pada abad ke-14 masehi.


Di kawasan Cepu sekarang, dia membuat daerah rawa menjadi persawahan yang akhirnya berubah menjadi lumbung padi. Karena itu, ia kemudian diminta datang ke ibu kota Majapahit yang sedang menghadapi masalah besar, yaitu banyaknya warga Majapahit harus turut menanggung utang perang yang dilancarkan kerajaan tersebut sejak berdirinya.

Jamaluddin kemudian diberi tanah perdikan di pinggiran Ibu Kota Majapahit. Dia segera menggunakan kekayaannya untuk menolong mereka yang menyandang utang perang, dengan ketentuan orang yang ditolongnya harus memeluk agama Islam. Orang-orang Hindu Budha (Kaum Bhairawa) menjadi marah dan mengusirnya dari ibu kota Majapahit. Dia lalu pergi ke Gunung Kawi, tempat kelenteng yang ada sekarang.

Pekuburan yang dibangunnya di sana, yang sekarang dijadikan bagian dari kelenteng tersebut, juga memiliki perkuburan kaum muslimin, yang dahulu dijaga Mbah Jogo dari Kesamben, Blitar. Sementara itu, Jamaluddin Husein sendiri pergi ke Ampel di Surabaya, dan mengawini seorang Tionghoa. Dari perkawinan itu, lahir cucunya bernama Sunan Ampel. Adapun Sayyid Jamaluddin sendiri pindah ke Wajo di Sulawesi Selatan sekarang. Tempat pertapaan (petilasan) yang ditinggalkannya di kawasan itu sekarang disebut Makam Kramat Mekkah.

Dia sendiri kembali ke Mekkah, dan meninggal di Madinah al-Munawaroh. Sejarawan Taufiq Abdullah menyebutkan, hubungan antara Islam sebagai gerakan sosial dan kekuasaan setempat menghasilkan empat macam corak Islam. Di Aceh, Islam lahir dari kampung-kampung yang melaksanakan fiqh dengan ketat. Terkenal dalam hal ini adagium Sultan Iskandar Tsani, bahwa adat adalah "ba' kata "meureuhom" (?adat bagaikan ketentuan dari almarhum'). Jadi, fiqh adalah ketentuan hukum yang dipakai Raja Iskandar Muda pendahulunya.

Di Sumatra Barat, tidak ada kekuatan yang dapat menghentikan Perang Padri (Ulama) hingga 16 tahun lamanya, sedangkan Kerajaan Pagaruyung hanyalah nama belaka. Sampai dengan datangnya Jenderal de Kock di Bukit Tinggi, perang itu baru berakhir. Itu pun masih dilanjutkan dengan pertengkaran antara kaum ninik-mamak yang matriarchaat, melawan kaum ulama yang dipimpin seorang syekh. Di Kerajaan Goa (Sulawesi Selatan), Islam datang dibawa pedagang dan para ulama. Kedua-duanya "ditampung" pusat kerajaan, dan hal ini sekarang dilanjutkan para sultan di Semenanjung Barat Malaysia.

Seorang sultan di sana kini dapat saja berpendidikan barat, senang berjudi dan minum-minuman keras, tetapi dia memiliki wewenang menunjuk mufti (?pembuat fatwa') resmi agama atas kaum muslimin. Juga mengangkat hakim-hakim agama (qadi). Di Pulau Jawa, sejak lima abad yang lampau, para raja "memiliki" dua keraton/istana. Yang pertama adalah keraton pusat kerajaan, katakanlah keraton besar.

Namun, di samping itu ada juga pusat-pusat kekuasaan lain di luarnya, atau keraton-keraton kecil yang berfungsi oposan, tetapi mengakui secara resmi keraton besar, dengan membayar upeti. Inilah yang sekarang "diambil" di zaman Indonesia kontemporer, seperti tampak dalam hubungan antara pondok pesantren dan lain-lain di satu sisi, dan pemerintah pusat di sisi lain. Berarti perkembangan Islam sebagai gerakan sosial di tanah air kita masih bersifat historis, bukan?


*Alm Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia Ke-IV



Sumber: Okezone.com
Tuesday, October 8, 2013
Posted by Unknown
Tag :

Event: Tumbler Design Competition


Poshboy Tumbler Design Competition adalah event Kompetisi yang dibuat oleh Poshboy untuk mengapresiasi kreatifitas anak muda khusunya pada bidang desain grafis. Disini kamu bisa ikut berpartisipasi dengan mengirimkan desain yang nantinya akan dipilih 5 desain terbaik dan akan menjadi suatu kebanggaan untuk kamu karena desain akan dicetak sebagai merchandise berupa tumbler oleh Poshboy.


Download Template di http://poshboy.co.id/blog Lalu kirim desain kamu ke fanpage Poshboy.

Waktu pengirimam desain ditutup tanggal 18 oktober 2013

FB: http://www.facebook.com/posboyclothing

Twitter: http://twitter.com/Poshboy
Monday, October 7, 2013
Posted by Unknown
Tag :

Demokrasi, Alat Atau Tujuan?


Akhir November lalu, Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla mengatakan demokrasi hanyalah cara, alat atau proses, dan bukan tujuan, sehingga bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat.

Menurut Kalla, pemilu jangan hanya dianggap sebagai kegiatan yang menghabiskan ongkos. Pemilu justru harus dinilai sebagai investasi bagi bangsa, hanya saja pemilu seharusnya efisien dan tidak boros. Karenanya ke depan pelaksanaan pilkada harus dievaluasi lagi agar dapat meminimalisasi konflik dan tidak memberatkan. Entah sebagai respons atas pernyataan Kalla atau bukan, baru-baru ini Gubernur Lemhannas Muladi melontarkan gagasan agar pilkada untuk gubernur dihapuskan, sebagai gantinya gubernur ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat (presiden).

Menurut Muladi, demokrasi yang berlangsung selama 10 tahun terakhir sudah kebablasan. Demikian juga dengan pilkada. "Akhirnya yang kita telan adalah praktik korupsi dan disintegrasi sosial," katanya pada acara seminar HAM di Jakarta, 12 Desember lalu. Bagaimana pernyataan Kalla dan gagasan Muladi itu harus disikapi? Sebenarnya sangat tergantung kepada siapa kita mempertanyakannya. Jika diajukan kepada Brunei Darussalam, sangat mungkin mereka mengatakan demokrasi bukanlah sesuatu yang urgen. Tak perlu partai politik (apalagi yang jumlahnya banyak seperti di Indonesia), tak perlu pula pemilu.

Sebab, mereka umumnya sudah sejahtera. Jadi, apa relevansinya mewacanakan demokrasi? Entahlah jika pertanyaan serupa diajukan lagi kepada mereka sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Begitu pun jika pertanyaan itu diajukan kepada sejumlah negara monarki yang makmur seperti Swiss dan beberapa negara Arab.Mungkin mereka malah khawatir demokrasi hanya akan membuat kehidupan mereka kacau dan tak tertib. Dulu, di masa Yunani Kuno, peradaban demokratis di negara kota Athena diakui sebagai contoh pelaksanaan demokrasi yang paling baik.

Apalagi, saat itu belum ada sistem perwakilan. Itulah yang membuat demokrasi Athena disebut "demokrasi langsung". Tapi, negara kota yang berperadaban tinggi dan makmur itu akhirnya hancur karena kalah perang melawan tentara Sparta. Kejayaan Athena pun berlalu. Kenyataan pahit itulah yang membuat para filsuf saat itu menilai demokrasi sebagai sesuatu yang buruk. Menurut mereka, kebebasan yang kebablasan dalam demokrasi hanya menimbulkan situasi saling kritik yang berakibat konflik dan kekacauan.

Sebaliknya, sistem pengelolaan negara yang menekankan disiplin, ketertiban, dan kontrol sosial sangat ketat alat militeristik justru menyebabkan negara tersebut unggul. Sejak itulah maka selama berabad-abad demokrasi dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Seiring waktu, demokrasi pun kembali berkembang. Apalagi, setelah sistem demi sistem terbukti gagal, demokrasi pun kian menjadi alternatif sistem yang paling banyak diminati negara-negara di dunia. Namun, apakah sistem ini tidak memiliki kelemahan sama sekali? Tentu saja ada.

Di aras struktural, misalnya, demokrasi yang meniscayakan kekuasaan negara dibagi-bagi demi meminimalisasi absolutisme dan korupsi kekuasaan menyebabkan anggaran negara banyak dihabiskan untuk membangun pelbagai institusi - baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Di aras prosedural, demokrasi yang meniscayakan kebebasan dan kesetaraan menyebabkan pelbagai proses pemilihan para elite dan pembuatan kebijakan publik kerap berjalan secara bertele-tele dan tidak efisien.

Di aras budaya, nilai kebebasan dan kesetaraan pulalah yang kerap menyebabkan terjadinya konflik dan kekacauan. Indonesia baru saja mendapatkan medali demokrasi dari International Association of Political Consultants (IAPC) pada 12 November lalu. Sungguhkah Indonesia sudah demokratis? Tak perlu diragukan. Lihat saja, bukankah sejak terpinggirnya Soeharto pada 1998 sejumlah agenda reformasi telah berhasil diwujudkan? Sebutlah misalnya partai politik, pers, dan asosiasi sipil yang bebas didirikan.

Memasuki 2004, untuk pertama kalinya kita menyelenggarakan pemilu secara bebas dan langsung. Betul-betul langsung, dalam arti kita mencoblos kartu-kartu yang ada nama dan foto calonnya. Baik untuk calon legislator nasional (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR), legislator daerah (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD), maupun legislator tanpa partai (Dewan Perwakilan Daerah/DPD). Luar biasa, saat itu parlemen Indonesia sudah terbagi menjadi dua "kamar", dengan berdirinya lembaga DPD. Beberapa bulan berselang, kita pun memilih lagi calon presiden dan wakil presiden sekaligus dengan cara yang sama.

Tetapi lantaran belum ada pemenang signifikan, putaran kedua pun digelar hingga akhirnya muncullah nama Susilo Bambang Yudhoyono dan M Jusuf Kalla sebagai duet pemimpin periode 2004-2009 itu. Inilah pemilu yang nilai demokratisnya sangat tinggi. Artinya, jika ada calon yang tak disukai rakyat, si calon niscaya tak bakal menang. Jadi, di sana ada proses "pembersihan politik" bagi figur-figur calon pemimpin yang tidak disukai, dan yang remote control-nya dipegang oleh rakyat. Bukankah kedaulatan sejati berada di tangan rakyat? Seiring waktu, daerah-daerah pun menggelar pemilu masing-masing, yang disebut pemilihan kepala daerah (pilkada).

Bukan hanya untuk memilih gubernur, tapi juga bupati atau wali kota. Maka, seusai pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden pada 2004 yang relatif aman itu, sepanjang 2005 hingga 2007 kita menyaksikan berulang kali betapa hiruk-pikuknya sejumlah daerah menggelar pesta demokrasi rakyat itu.Hiruk-pikuk karena di sini dan di sana selalu saja ada keributan dan kecurangan. Sementara di sisi lain entah berapa banyak biaya yang sudah dikeluarkan untuk itu, baik oleh negara maupun oleh masyarakat secara kolektif maupun perorangan.

Lalu hasilnya apa? Makin sejahterakah rakyat setelah pemilihan legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden, dan pilkada yang demokratis itu? Padahal, andai saja biaya besar yang sudah dikeluarkan itu dicurahkan untuk bidang pendidikan, kesehatan, koperasi, dan lainnya, termasuk pelbagai struktur dan infrastruktur yang niscaya menunjang pembangunan demi meningkatkan kesejahteraan, mungkin hasilnya justru lebih baik. Namun sekali lagi, tergantung pihak mana yang menilai demokrasi itu. Jika pertanyaannya diajukan kepada rakyat yang menderita, maka mereka niscaya balik bertanya: untuk apa demokrasi jika hidup sehari-hari tetap susah?

Bagi yang sangat mementingkan ketenangan, maka mereka pun niscaya balik bertanya: untuk apa demokrasi jika hanya menimbulkan kekacauan? Bukankah itu yang terjadi di era Soeharto dulu? Demi stabilitas, demokrasi pun dikebiri dan pendekatan militeristik dikedepankan. Bagaimanapun, kini semuanya sudah berbeda. Demokratisasi sudah bergulir deras.Tak mungkin kita surut ke belakang. Tak mungkin kita menghapuskan pilkada untuk gubernur, sementara pilkada untuk bupati/wali kota tetap dijalankan. Jadi, bagaimana kita mesti menyikapi demokrasi?

Sebagai alat atau tujuan? Sebagai alat, itu tepat. Memang, demokrasi hanyalah cara, yang memberi kesempatan bagi setiap orang untuk menikmati apa pun yang menjadi haknya. Sebagai tujuan, itu benar. Karena Indonesia memang sedang dalam era transisi mengonsolidasikan demokrasi. Jadi, pelbagai struktur dan institusi harus diperkuat, begitu pun pelbagai prosedur dan mekanisme dalam pemilihan para elite dan pembuatan kebijakan publik. Karena itu, ia sekali-kali tak boleh dinomorduakan. Ia justru harus ditinggikan, berlandaskan rasionalitas dan moralitas. Karena itu pula, ia harus senantiasa terbuka untuk dikoreksi demi perbaikan yang membuatnya makin baik dari waktu ke waktu. Untuk kebaikan progresif itulah, tak bisa tidak, suara rakyat harus terus-menerus didengar. Sehingga, suatu saat kelak, tak ada lagi yang mengatakan secara pesimistis bahkan apatis, "Untuk apa demokrasi.”

*DR. Victor Silaen, Dosen Fisipol UKI, pengamat


Sumber: Okezone.com
Posted by Unknown
Tag :

Event: Seminar Budaya


Tema:
“Mempertahankan Budaya Aceh Sebagai Wujud Adanya Keanekaragaman Budaya Di Indonesia”
Sunday, October 6, 2013
Posted by Unknown
Tag :

Konvergensi Panggung Politik


Wajah politik Indonesia kontemporer makin memapankan fenomena politik pencitraan. Dunia hiburan dan dunia politik menyatu menyediakan panggung simbolis yang memproduksi dan mengonstruksi tindakan politik para aktor yang ada di dalamnya. 

Kenyataan itulah kiranya yang menyadarkan Presiden SBY hingga dia harus berjibaku menyediakan waktu khusus untuk mengawal popularitasnya. Contoh pencitraan ala SBY yang belakangan dilakukannya adalah peluncuran album Rinduku Padamu di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta 28 Oktober lalu.

Di dalam album perdana yang diproduksi The One Production ini SBY menulis 10 lagu dalam rentang April 2006-Oktober 2007. Meski timnya berupaya meyakinkan publik bahwa peluncuran album yang nantinya akan didistribusikan melalui PT Nagaswara Sakti tersebut murni komersial, tak dapat disangkal bahwa album tersebut juga bagian dari political marketing SBY. 

Konvergensi

Tak hanya SBY yang kini memanfaatkan panggung pencitraan. Sejumlah tokoh dan politisi sibuk mengemas pesona dirinya melalui panggung hiburan. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie misalnya, pernah bermain dalam ketoprak guyon dengan Paguyuban Puspo Budoyo di Taman Ismail Marzuki (25/5/2007). Politikus PPP yang sebelumnya di PKB, Saifullah Yusuf, dan politikus PBB Yusril Ihza Mahendra kini menjadi bintang film di Sinetron Laksamana Ceng Ho yang akan mulai tayang akhir Januari 2008. 

Dalam sinetron produksi Kantana Film (Thailand) dan Jupiter Global (Indonesia) itu Saifullah Yusuf yang mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini memerankan Raja Majapahit Wikramawardhana, sementara mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra memerankan sosok Laksamana Ceng Ho. 

Sederet nama lain yang menjelajah panggung hiburan adalah Ketua Lemhannas Muladi, Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom, kandidat calon Presiden RI 2009 yang juga mantan Gubernur DKI Sutiyoso, Jaksa Agung Hendarman Supandji, mereka bermain ketoprak di beberapa panggung pertunjukan berbeda. Seolah tak mau ketinggalan, banyak kepala daerah yang juga menggunakan panggung hiburan baik seni peran ataupun seni suara dalam konteks pemasaran politik mereka. 

Selebrisasi di dunia politik ini merupakan fenomena menguatnya konvergensi di ranah politik pencitraan antara panggung politik dan panggung hiburan. Sedikit berbeda dengan era sebelumnya, saat kita lebih banyak melihat fenomena hijrahnya selebritis-selebritis panggung hiburan ke panggung politik karena mereka kerap dijadikan vote getter. 

Sementara saat ini, sekat-sekat antara penghibur dan politisi sudah mulai kabur. Banyak politisi yang masuk langsung melakukan politik pengemasan diri atau personal branding melalui industri hiburan. Bahkan di banyak kasus, pengemasan diri mereka menyesuaikan dengan standar profesional dunia hiburan. Begitu pun sebaliknya, banyak penghibur atau artis yang terjun ke dunia politik secara sungguh-sungguh, seolah-olah menegaskan bahwa mereka tak mau hanya menjadi sekadar pelengkap penderita. 

Massifikasi dan Imitasi

Konvergensi panggung politik dan hiburan semakin kuat karena beberapa faktor. Pertama, terjadinya massifikasi industri hiburan yang diperkuat oleh dukungan industri media massa baik cetak maupun elektronika. Realitas simbolik media massa telah berhasil memotong jalur komunikasi yang selama ini berpengaruh bagi khalayak, yakni keluarga, pendidikan, institusi-institusi keagamaan, dan institusi-institusi kebudayaan. 

Terpaan media mampu mengonstruksi realitas simbolik yang diproduksinya menjadi realitas objektif dalam pemahaman khalayak. Kedua, panggung politik dan panggung hiburan kita memiliki kesamaan, terutama dalam proses reinforment imitasi. Dalam dunia politik dan hiburan, secara teknis pengondisian instrumental dilakukan melalui tiga perilaku imitasi, yakni stimuli lingkungan yang sama sehingga individu memberi respons yang sama (same behahior). 

Politik dan hiburan sama-sama menciptakan mekanisme yang terpola sehingga khalayak memiliki prilaku serupa. Kesadaran individu sering dimanipulasi sehingga relevan dengan apa yang diinginkan oleh aktor. Kedua, pencocokan perilaku individu sedekat mungkin dengan perilaku orang lain biasanya melalui sosok figur atau tokoh (copying). Elite opinion, figure head, ataupun tokoh kharismatik lainnya memunculkan role model. Tak heran jika dunia hiburan mengenal fans club, yang di era sekarang ini juga berlaku di dunia politik. 

Ketiga, matched-dependent behavior yakni pengondisian kecenderungan kuat tindakan si model seolah-olah peniru memperoleh imbalan dari perilaku tiruannya (imitatifnya). Hal ini terkait dengan mekanisme yang dibuat untuk membuat khalayak selalu tergantung pada apa yang diinginkan aktor. 

Khalayak tak independen dan tak cukup kritis untuk mempertanyakan apa yang telah dilakukan mereka, misalnya buat apa mereka memilih? Karena mereka mengorientasikan dirinya sesuai dengan prilaku tokoh tempat mereka bergantung. Hal seperti inilah yang sesungguhnya melanggengkan feodalisme di dalam sistem politik Indonesia. 

Simbol ke Substansi

Presiden SBY merupakan Presiden RI yang teramat peduli dengan politik pencitraan. Hal ini bisa dimaklumi karena salah satu faktor utama keberhasilan SBY di Pemilu 2004 adalah pencitraan personalnya. Namun, relevankah jika saat ini politik pencitraan masih di level simbolis? Tentu saja tidak, karena pencitraan simbolis hanya akan menempatkan diri SBY dalam egoisme individunya.

Ego untuk selalu diperhatikan, dipuja, atau dieluk-elukan dengan sendirinya akan menjadi virus bagi dirinya di massa mendatang karena tak lagi menemukan kritisisme dari khalayak secara memadai. Kini saatnya politik pencitraan yang mengalami konvergensi antara panggung politik dengan panggung hiburan mengubah strategi kerjanya dari simbolis ke substansial. 

Dari sekadar pidato dan publisitas melalui berbagai media massa berganti dengan program yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak. Tidak ada yang salah jika seorang presiden bernyanyi atau mencipta lagu, politisi main sinetron atau pun manggung di pentas kesenian tradisional. Yang salah adalah jika para pemimpin itu tak dapat merasakan penderitaan yang dirasakan khalayaknya.

*Gun Gun Heryanto , Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta 


Sumber: Okezone.com
Posted by Unknown
Tag :

Wikipedia

Search results


Powered by Blogger.

Popular Posts

Copyright © HMI Kom. Teknik Unsyiah

Designed by Amirul Mukminin