- Back to Home »
- Opini »
- Konvergensi Panggung Politik
Posted by : Unknown
Sunday, October 6, 2013
Wajah politik Indonesia kontemporer makin memapankan
fenomena politik pencitraan. Dunia hiburan dan dunia politik menyatu
menyediakan panggung simbolis yang memproduksi dan mengonstruksi tindakan
politik para aktor yang ada di dalamnya.
Kenyataan itulah kiranya yang menyadarkan Presiden SBY hingga dia harus berjibaku menyediakan waktu khusus untuk mengawal popularitasnya. Contoh pencitraan ala SBY yang belakangan dilakukannya adalah peluncuran album Rinduku Padamu di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta 28 Oktober lalu.
Di dalam album perdana yang diproduksi The One Production ini SBY menulis 10 lagu dalam rentang April 2006-Oktober 2007. Meski timnya berupaya meyakinkan publik bahwa peluncuran album yang nantinya akan didistribusikan melalui PT Nagaswara Sakti tersebut murni komersial, tak dapat disangkal bahwa album tersebut juga bagian dari political marketing SBY.
Konvergensi
Tak hanya SBY yang kini memanfaatkan panggung pencitraan. Sejumlah tokoh dan politisi sibuk mengemas pesona dirinya melalui panggung hiburan. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie misalnya, pernah bermain dalam ketoprak guyon dengan Paguyuban Puspo Budoyo di Taman Ismail Marzuki (25/5/2007). Politikus PPP yang sebelumnya di PKB, Saifullah Yusuf, dan politikus PBB Yusril Ihza Mahendra kini menjadi bintang film di Sinetron Laksamana Ceng Ho yang akan mulai tayang akhir Januari 2008.
Dalam sinetron produksi Kantana Film (Thailand) dan Jupiter Global (Indonesia) itu Saifullah Yusuf yang mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini memerankan Raja Majapahit Wikramawardhana, sementara mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra memerankan sosok Laksamana Ceng Ho.
Sederet nama lain yang menjelajah panggung hiburan adalah Ketua Lemhannas Muladi, Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom, kandidat calon Presiden RI 2009 yang juga mantan Gubernur DKI Sutiyoso, Jaksa Agung Hendarman Supandji, mereka bermain ketoprak di beberapa panggung pertunjukan berbeda. Seolah tak mau ketinggalan, banyak kepala daerah yang juga menggunakan panggung hiburan baik seni peran ataupun seni suara dalam konteks pemasaran politik mereka.
Selebrisasi di dunia politik ini merupakan fenomena menguatnya konvergensi di ranah politik pencitraan antara panggung politik dan panggung hiburan. Sedikit berbeda dengan era sebelumnya, saat kita lebih banyak melihat fenomena hijrahnya selebritis-selebritis panggung hiburan ke panggung politik karena mereka kerap dijadikan vote getter.
Kenyataan itulah kiranya yang menyadarkan Presiden SBY hingga dia harus berjibaku menyediakan waktu khusus untuk mengawal popularitasnya. Contoh pencitraan ala SBY yang belakangan dilakukannya adalah peluncuran album Rinduku Padamu di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta 28 Oktober lalu.
Di dalam album perdana yang diproduksi The One Production ini SBY menulis 10 lagu dalam rentang April 2006-Oktober 2007. Meski timnya berupaya meyakinkan publik bahwa peluncuran album yang nantinya akan didistribusikan melalui PT Nagaswara Sakti tersebut murni komersial, tak dapat disangkal bahwa album tersebut juga bagian dari political marketing SBY.
Konvergensi
Tak hanya SBY yang kini memanfaatkan panggung pencitraan. Sejumlah tokoh dan politisi sibuk mengemas pesona dirinya melalui panggung hiburan. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie misalnya, pernah bermain dalam ketoprak guyon dengan Paguyuban Puspo Budoyo di Taman Ismail Marzuki (25/5/2007). Politikus PPP yang sebelumnya di PKB, Saifullah Yusuf, dan politikus PBB Yusril Ihza Mahendra kini menjadi bintang film di Sinetron Laksamana Ceng Ho yang akan mulai tayang akhir Januari 2008.
Dalam sinetron produksi Kantana Film (Thailand) dan Jupiter Global (Indonesia) itu Saifullah Yusuf yang mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini memerankan Raja Majapahit Wikramawardhana, sementara mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra memerankan sosok Laksamana Ceng Ho.
Sederet nama lain yang menjelajah panggung hiburan adalah Ketua Lemhannas Muladi, Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom, kandidat calon Presiden RI 2009 yang juga mantan Gubernur DKI Sutiyoso, Jaksa Agung Hendarman Supandji, mereka bermain ketoprak di beberapa panggung pertunjukan berbeda. Seolah tak mau ketinggalan, banyak kepala daerah yang juga menggunakan panggung hiburan baik seni peran ataupun seni suara dalam konteks pemasaran politik mereka.
Selebrisasi di dunia politik ini merupakan fenomena menguatnya konvergensi di ranah politik pencitraan antara panggung politik dan panggung hiburan. Sedikit berbeda dengan era sebelumnya, saat kita lebih banyak melihat fenomena hijrahnya selebritis-selebritis panggung hiburan ke panggung politik karena mereka kerap dijadikan vote getter.
Massifikasi dan Imitasi
Konvergensi panggung politik dan hiburan semakin kuat karena beberapa faktor. Pertama, terjadinya massifikasi industri hiburan yang diperkuat oleh dukungan industri media massa baik cetak maupun elektronika. Realitas simbolik media massa telah berhasil memotong jalur komunikasi yang selama ini berpengaruh bagi khalayak, yakni keluarga, pendidikan, institusi-institusi keagamaan, dan institusi-institusi kebudayaan.
Terpaan media mampu mengonstruksi realitas simbolik yang diproduksinya menjadi realitas objektif dalam pemahaman khalayak. Kedua, panggung politik dan panggung hiburan kita memiliki kesamaan, terutama dalam proses reinforment imitasi. Dalam dunia politik dan hiburan, secara teknis pengondisian instrumental dilakukan melalui tiga perilaku imitasi, yakni stimuli lingkungan yang sama sehingga individu memberi respons yang sama (same behahior).
Politik dan hiburan sama-sama menciptakan mekanisme yang terpola sehingga khalayak memiliki prilaku serupa. Kesadaran individu sering dimanipulasi sehingga relevan dengan apa yang diinginkan oleh aktor. Kedua, pencocokan perilaku individu sedekat mungkin dengan perilaku orang lain biasanya melalui sosok figur atau tokoh (copying). Elite opinion, figure head, ataupun tokoh kharismatik lainnya memunculkan role model. Tak heran jika dunia hiburan mengenal fans club, yang di era sekarang ini juga berlaku di dunia politik.
Khalayak tak independen dan tak cukup kritis untuk mempertanyakan apa yang telah dilakukan mereka, misalnya buat apa mereka memilih? Karena mereka mengorientasikan dirinya sesuai dengan prilaku tokoh tempat mereka bergantung. Hal seperti inilah yang sesungguhnya melanggengkan feodalisme di dalam sistem politik Indonesia.
Simbol ke Substansi
Presiden SBY merupakan Presiden RI yang teramat peduli dengan politik pencitraan. Hal ini bisa dimaklumi karena salah satu faktor utama keberhasilan SBY di Pemilu 2004 adalah pencitraan personalnya. Namun, relevankah jika saat ini politik pencitraan masih di level simbolis? Tentu saja tidak, karena pencitraan simbolis hanya akan menempatkan diri SBY dalam egoisme individunya.
Ego untuk selalu diperhatikan, dipuja, atau dieluk-elukan dengan sendirinya akan menjadi virus bagi dirinya di massa mendatang karena tak lagi menemukan kritisisme dari khalayak secara memadai. Kini saatnya politik pencitraan yang mengalami konvergensi antara panggung politik dengan panggung hiburan mengubah strategi kerjanya dari simbolis ke substansial.
Dari sekadar pidato dan publisitas melalui berbagai media massa berganti dengan program yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak. Tidak ada yang salah jika seorang presiden bernyanyi atau mencipta lagu, politisi main sinetron atau pun manggung di pentas kesenian tradisional. Yang salah adalah jika para pemimpin itu tak dapat merasakan penderitaan yang dirasakan khalayaknya.
*Gun Gun Heryanto ,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Sumber: Okezone.com