- Back to Home »
- Lainnya »
- Buku Dan Masa Depan Peradaban Kita
Posted by : Unknown
Friday, October 11, 2013
Tanggal 30 Desember 2007 saya pergi ke toko buku
Gramedia, Matraman, Jakarta. Saya terhenyak beberapa saat: kemacetan luar biasa
di depan toko buku itu. Tidak seperti biasanya pengunjung meledak luar biasa
banyak. Sangat banyak!
Usut punya usut rupanya Gramedia dalam rangka peresmian gedung barunya yang megah itu melakukan discount 30 persen atas buku-bukunya. Ketika saya berkunjung lagi ke sana pada 2 Januari 2008 ternyata pengunjungnya masih juga tetap luar biasa banyak. Sungguh spektakuler!
Apa yang dapat kita catat dari fenomena ini? Pertama, minat baca bangsa Indonesia, tidak seperti yang kita duga, sejatinya sangatlah besar. Tesis Amin Sweeney dalam A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World (1987) yang menyatakan bahwa bangsa ini bertradisi oral dan mendengar, alias tidak membaca, adalah salah. Bangsa ini sebenarnya berpotensi menjadi bangsa yang rakus membaca.
Kedua, buku di negeri ini dalam konteks daya beli masyarakat sangatlah mahal. Terbukti begitu ada discount 30 persen pengunjung sedemikian membludak. Fenomena seperti ini juga tampak dalam setiap kali digelar Book Fair di Jakarta dan kota-kota lainnya di mana harga buku didiskon antara 20-30 persen.
Di toko-toko buku murah seperti Social Agency dan Togamas di Yogyakarta pengunjung juga selalu penuh sesak. Sebuah fenomena yang sangat mengesankan! Buku, seperti kata Khaled Abou El- Fadl dalam bukunya Conference of the Book (University Press of America, Lanham, 2001) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Musyawarah Buku (Serambi,2002), adalah simbol peradaban.
Perdaban, kata El- Fadl, tidak dibangun di atas kenyamanan dalam kelambanan dan kebodohan. Peradaban selamanya dibangun di atas penderitaan para syuhada perbukuan! Sangat meyakinkan, bangsa ini bangsa yang besar dan berpotensi untuk maju karena ternyata menyenangi buku dan gemar membacanya.
Hanya karena ketololan para pemimpin bangsa sehingga gagal membangun ekonomi nasional untuk mengentaskan bangsanya dari kemiskinanlah yang membuat bangsa ini tidak sempat membaca buku, apatah lagi membelinya! Buktinya begitu ada pasar buku murah dengan discount mereka menyerbunya dan melahapnya.
Kebobrokan ekonomi telah membuat bangsa ini tidak mampu untuk membeli buku yang mengakibatkan keterbelakangan di semua bidang. Rasanya tidak sulit untuk mendorong bangsa ini maju dan berjaya. Jika kita memiliki pemimpin bangsa yang ikhlas, tulus, dan sedikit saja mempunyai visi, kita akan menjadi bangsa yang sangat maju. Semua prasyarat untuk maju dan mandiri ada di negeri ini.
Sumber daya alamnya lengkap dan melimpah. Negara ini memiliki apa saja untuk maju dan mandiri: buminya subur dan menyimpan cadangan minyak, gas, batubara, dan tambang-tambang lainnya. Ikan, hewan, dan segala macam flora serta fauna untuk keperluan hidup tersedia. Seandainya bangsa ini -tidak seperti bangsa lainnya- diisolasi oleh dunia internasional sekalipun akan tetap survive.
Sementara sumber daya manusianya juga besar dan potensial. Mereka berpotensi untuk maju dan besar karena ternyata mau membaca buku, sang induk dan penggerak peradaban. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang full hearing seperti sinyalemen Amin Sweeney, melainkan bangsa yang beraksara.
Usut punya usut rupanya Gramedia dalam rangka peresmian gedung barunya yang megah itu melakukan discount 30 persen atas buku-bukunya. Ketika saya berkunjung lagi ke sana pada 2 Januari 2008 ternyata pengunjungnya masih juga tetap luar biasa banyak. Sungguh spektakuler!
Apa yang dapat kita catat dari fenomena ini? Pertama, minat baca bangsa Indonesia, tidak seperti yang kita duga, sejatinya sangatlah besar. Tesis Amin Sweeney dalam A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World (1987) yang menyatakan bahwa bangsa ini bertradisi oral dan mendengar, alias tidak membaca, adalah salah. Bangsa ini sebenarnya berpotensi menjadi bangsa yang rakus membaca.
Kedua, buku di negeri ini dalam konteks daya beli masyarakat sangatlah mahal. Terbukti begitu ada discount 30 persen pengunjung sedemikian membludak. Fenomena seperti ini juga tampak dalam setiap kali digelar Book Fair di Jakarta dan kota-kota lainnya di mana harga buku didiskon antara 20-30 persen.
Di toko-toko buku murah seperti Social Agency dan Togamas di Yogyakarta pengunjung juga selalu penuh sesak. Sebuah fenomena yang sangat mengesankan! Buku, seperti kata Khaled Abou El- Fadl dalam bukunya Conference of the Book (University Press of America, Lanham, 2001) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Musyawarah Buku (Serambi,2002), adalah simbol peradaban.
Perdaban, kata El- Fadl, tidak dibangun di atas kenyamanan dalam kelambanan dan kebodohan. Peradaban selamanya dibangun di atas penderitaan para syuhada perbukuan! Sangat meyakinkan, bangsa ini bangsa yang besar dan berpotensi untuk maju karena ternyata menyenangi buku dan gemar membacanya.
Hanya karena ketololan para pemimpin bangsa sehingga gagal membangun ekonomi nasional untuk mengentaskan bangsanya dari kemiskinanlah yang membuat bangsa ini tidak sempat membaca buku, apatah lagi membelinya! Buktinya begitu ada pasar buku murah dengan discount mereka menyerbunya dan melahapnya.
Kebobrokan ekonomi telah membuat bangsa ini tidak mampu untuk membeli buku yang mengakibatkan keterbelakangan di semua bidang. Rasanya tidak sulit untuk mendorong bangsa ini maju dan berjaya. Jika kita memiliki pemimpin bangsa yang ikhlas, tulus, dan sedikit saja mempunyai visi, kita akan menjadi bangsa yang sangat maju. Semua prasyarat untuk maju dan mandiri ada di negeri ini.
Sumber daya alamnya lengkap dan melimpah. Negara ini memiliki apa saja untuk maju dan mandiri: buminya subur dan menyimpan cadangan minyak, gas, batubara, dan tambang-tambang lainnya. Ikan, hewan, dan segala macam flora serta fauna untuk keperluan hidup tersedia. Seandainya bangsa ini -tidak seperti bangsa lainnya- diisolasi oleh dunia internasional sekalipun akan tetap survive.
Sementara sumber daya manusianya juga besar dan potensial. Mereka berpotensi untuk maju dan besar karena ternyata mau membaca buku, sang induk dan penggerak peradaban. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang full hearing seperti sinyalemen Amin Sweeney, melainkan bangsa yang beraksara.
Negara harus mendorong industri buku agar lebih murah seperti murah meriahnya buku-buku bermutu di negara India. Negara ini bukan hanya harus menghapus pajak buku, melainkan juga harus memberikan subsidi harga kertas buku. Oleh karena bangsa ini masih konsumen -belum produsen- ilmu, maka kita harus memulainya dengan menumbuhkan tradisi menghargai dan menghormati para penulis buku.
Untuk menjadikan lebih dramatis kita harus mengatakan (jangan ketawa!) "bayarlah penulis dan penterjemah buku dengan emas seberat buku yang ditulisnya seperti yang dilakukan Khalifah Dinasti Abbasiyah Harun Al- Rasyid (786-809 M) di jaman keemasan peradaban Islam".
Negara ini harus membangun banyak perpustakaan yang indah dan megah di setiap penjuru wilayah. Pasar-pasar buku murah dan Book Fair harus digelar sebanyak dan sesering mungkin di setiap kota di seantero tanah air ini. Dorong dan hargailah penerbit-penerbit dan toko-toko buku sehingga mereka dengan bangga memotong harga buku sampai terjangkau oleh rakyat yang terus merosot daya belinya itu.
Akhirnya, hai para pemimpin bangsa, lihatlah! Betapa sederhananya sebenarnya langkah yang harus ditempuh untuk membangkitkan bangsa ini menuju kemajuan dan keadaban. Percayalah!
*Hajriyanto Y
Thohari, Pecinta buku dan anggota Komisi I DPR
Sumber: Okezone.com