Archive for 2013-09-15
Menelisik Sejarah Pekan Kebudayaan Aceh (PKA)
PIDATO
yang disampaikan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) RI
itu, saat menutup Pekan kebudayaan Aceh (PKA) I pada 1958, bukan hanya sekadar
ingin menyenangi perasaan masyarakat Aceh yang baru saja usai menghadapi
konflik DI/TII. Melainkan apresiasi itu lebih pada kesakralan dan keseriusan
pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh itu sendiri. Digelarnya PKA I ini memang
bukan sekadar ajang hiburan pesta budaya rakyat, tapi lebih pada penggalian
kembali nilai-nilai kebudayaan Aceh yang hilang, baik disebabkan oleh tekanan
Belanda semasa perang Aceh, maupun akibat pengaruh konflik (DI/TII) yang
melanda Aceh tak lama setelah Indonesia merdeka.
Selain itu, tujuan digelarnya PKA juga ingin merumuskan kembali
bagaimana mengembangkan pembangunan Aceh yang berlandaskan nilai-nilai budaya
masyarakat. Karena itu, jauh sebelum PKA I digelar, satu tahun sebelumnya atau
tepatnya pada 1957 dibentuk sebuah lembaga khusus yang dimanai Lembaga
Kebudayaan Aceh yang diketuai oleh Mayor T Hamzah. Lembaga inilah yang bekerja
selama lebih kurang satu tahun untuk mempersiapkan pelaksanaan PKA I pada 1958,
yang kala itu memberi arti penting bagi pengembangan kebudayaan dan pembangunan
daerah Aceh setelah PKA itu dilaksanakan.
Piagam Blangpadang
Satu hasil penting yang ditelorkan dari pelaksanaan PKA I dulu adalah lahirnya “Piagam Blangpadang”, yang isinya antara lain, menggali dan menghidupkan kembali budaya tradisional dan adat Aceh adalah bagian terpenting dalam setiap gerak pembangunan Aceh dan masyarakatnya. Implementasi “Piagam Blangpadang” ini terus ditindaklanjuti hingga 14 tahun kemudian, yang ditandai dengan penyelenggaraan PKA II pada 1972, yang berlangsung cukup meriah dan mengesankan.
Satu hasil penting yang ditelorkan dari pelaksanaan PKA I dulu adalah lahirnya “Piagam Blangpadang”, yang isinya antara lain, menggali dan menghidupkan kembali budaya tradisional dan adat Aceh adalah bagian terpenting dalam setiap gerak pembangunan Aceh dan masyarakatnya. Implementasi “Piagam Blangpadang” ini terus ditindaklanjuti hingga 14 tahun kemudian, yang ditandai dengan penyelenggaraan PKA II pada 1972, yang berlangsung cukup meriah dan mengesankan.
Demikian pula PKA III yang dilaksanakan 16 tahun kemudian atau
tepatnya pada 1988. Penyelenggaraan PKA III ini juga bukan PKA main-main.
Landasan dan tujuan pelaksanaannya malah lebih luas dari dua PKA sebelumnya.
PKA III selain ingin menggali dan menguatkan kembali nilai-nilai tradisi
masyarakat, juga mengangkat persoalan ideologi, ekonomi, sosial budaya, hankam
dan agama. Sehingga masalah-masalah yang sebelumnya menjadi kecurigaan
masyarakat Aceh yang bersifat negatif, dapat diubah menjadi positif dalam
mewujudkan kemajuan pembangunan Aceh.
Keseriusan pelaksaan PKA III juga tercermin dalam mengangkat
topik-topik yang disikusikan sebagai bagian dari even PKA, di antaranya Seminar
Budaya dengan tema “Wajah Rakyat Aceh dalam Lintasan Sejarah”, “Hari Depan
Kebudayaan Aceh”, “Identitas Kesenian Aceh di Tengah Pengembangan Budaya
Modern” dan “Peranan Sastra Aceh dalam Sastra Indonesia”, dan lain-lain.
Karenanya tak heran, bila di era 1980-an landasan pembangunan Aceh selalu
bersentuhan dengan nilai-nilai kebudayaan Aceh. Kantong-kantong budaya dan
sanggar-sanggar rakyat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Aceh saat
itu-mulai dari hilir ke hulu yang dusupport oleh pemerintah Aceh semasa
Gubernur Ibrahim Hasan.
Sayangnya, di tengah semaraknya pertumbuhan kantong-kantong seni
dan budaya Aceh saat itu, Aceh harus kembali menghadapi konflik yang puncaknya
diberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) untuk Aceh. Sejak itu, apa yang telah
dibangun dan dibina pemerintah Aceh dalam mengembangkan kembali nilai-nilai
kebudayaan Aceh harus terhenti akibat konflik Aceh yang terus memuncak.
Sanggar-sanggar seni dan kantong-kantong budaya yang sedang tumbuh dan
berkembang di daerah sebagai bagian dari pembangunan kultur Aceh saat itu satu
persatu harus gulung tikar karena situasi keamaan Aceh yang tidak memungkinkan
lagi para seniman-seniman berkarya.
Semangat membangun kebudayaan Aceh yang terkandung dalam PKA III
dicoba gagas kembali setelah 16 tahun kemudian, yaitu diselenggarakannya PKA IV
sewaktu Gubernur Abdullah Puteh, yang pelaksanaannya juga sangat serius dan
sukses. Karena persiapan PKA IV ini juga tidak dadakan, persiapannya tidak satu
bulan. Tapi telah dirancang jauh sebelumnya. Apalagi untuk melaksanakan PKA IV
harus dibangun lokasi khusus “Miniatur Aceh” yang sekarang dinamai Taman Ratu
Safiatuddin, sebagai buah karya hasil PKA IV yang sangat momental.
Akan tetapi, ruh dari semangat pelaksanaan PKA mulai rusak
ketika diselenggarakan PKA V pada 2009.
Pelaksanaan PKA V ini tidak lagi
melibatkan tokoh-tokoh pemikir budaya lokal (Aceh) untuk merancang sebuah
pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh yang benar-benar sakral dan serius. Semua
even kegiatan PKA V ditenderkan dan dilaksanakan oleh orang-orang (perusahaan)
dari Jakarta yang sama sekali tidak memahami tradisi lokal (Aceh) yang harus
digali dan diangkat tampil dalam PKA V.
Itu sebabnya, mengapa PKA V tidak meninggalkan jejak yang
berarti bagi pembangunan cultural Aceh setelah PKA itu dilaksanakan. Malah yang
terkesan dari pelaksanaan PKA V tak ubahnya seperti pelaksanaan pameran-pameran
produk (expo) yang mengatasnamakan PKA. Pelaksanaan PKA V 2009 secara
pemberdayaan ekonomi tentu sangat merugikan kaum seniman lokal kita di Aceh.
Yang menguntungkan adalah cokong-cukong seni yang terlibat dalam even PKA itu.
Lalu, apakah pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA VI) yang akan digelar 20-29
September 2013 ini akan terulang seperti PKA V lalu?
Semestinya, perhelatan PKA VI sebagai pesta budaya rakyat Aceh
yang sangat akbar ini dengan waktu pelaksanaan tak sampai sebulan lagi, panitia
sudah bekerja ekstra dengan berbagai persiapan perhelatan yang matang.
Brosur-brosur PKA VI yang sudah tersebar di mana-mana, termasuk di hotel-hotel
dan di tempat-tempat umum lainnya sebagai sosialisasi bahwa di Aceh akan
berlangsung sebuah perhelatan pesta budaya rakyat yang sangat besar, yaitu
Pekan Kebudayaan Aceh.
Sehingga gaung PKA VI yang akan digelar akan terus menggema dan
menjadi perhatian rakyat, tak hanya di Aceh, tapi sebaran informasi itu hingga
ke luar Aceh untuk menarik perhatian masyarakat nasional dan manca negara untuk
datang menyaksikannya.
Wajar dipertanyakan
Apalagi PKA VI yang bakal dilaksanakan bertepatan dengan program Visit Aceh Year 2013, tentu akan sangat strategis bila PKA VI ini disosialisasikan jauh-jauh hari di dalam maupun luar negeri. Namun ini tidak terjadi dalam persiapan PKA yang bakal digelar pertengahan September bulan depan. Bila demikian kondisi persiapannya, maka wajar bila dipertanyakan, kontribusi apa yang bakal dihasilkan dari PKA VI dalam kelanjutan pembangunan kebudayaan Aceh setelah PKA itu usai dilaksanakan?
Apalagi PKA VI yang bakal dilaksanakan bertepatan dengan program Visit Aceh Year 2013, tentu akan sangat strategis bila PKA VI ini disosialisasikan jauh-jauh hari di dalam maupun luar negeri. Namun ini tidak terjadi dalam persiapan PKA yang bakal digelar pertengahan September bulan depan. Bila demikian kondisi persiapannya, maka wajar bila dipertanyakan, kontribusi apa yang bakal dihasilkan dari PKA VI dalam kelanjutan pembangunan kebudayaan Aceh setelah PKA itu usai dilaksanakan?
Sebenarnya, even PKA V yang sudah digelar dan PKA VI yang bakal
digelar tahun ini adalah momen penting dalam menentukan kembali arah masa depan
pembangunan kebudayaan masyarakat Aceh. Karena dua even PKA ini, Aceh telah
mengalami perubahan signifikan, baik secara tradisi, adat dan budaya, maupun
secara kepemimpinan pemerintahan yang harus merujuk pada UUPA. Untuk
mengimplementasikan semua amanat UU itu, Aceh hari ini harus menata kembali
kehidupan sosial budaya masyarakatnya menuju masyarakat Aceh yang sejahtera,
berbudaya dan bermartabat.
Saya kira itulah yang menjadi ruh dari tujuan pelaksanaan Pekan
Kebudayaan Aceh yang sesungguhnya. Jadi, PKA bukan sekadar mengundang
Dinas-dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten/kota di seluruh Aceh untuk
mengisi anjungannya masing-masing yang telah tersedia di Taman Ratu Safiatuddin
Banda Aceh. PKA VI ini harus dipersiapkan secara matang dengan melibatkan
tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir kebudayaan yang mampu merumuskan konsep
bagaimana membangun nilai budaya masyarakat di tengah kepentingan pembangunan
fisik material.
* Nab Bahany As, Budayawan/Ketua Lembaga
Studi Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat (LSKPM) Aceh, tinggal di Banda
Aceh. Email: nabbahanyas@yahoo.co.id
Sumber: Serambi
Indonesia
Event: Climate Smart Leaders
Climate-smart leaders adalah program yang ditujukan bagi
kaum muda (usia 15-24 tahun) yang punya gagasan dan ide kreatif untuk menjawab
tantangan pembangunan berkelanjutan, khususnya masalah perubahan iklim. Program
ini merupakan ajang bagi kaum muda untuk mewujudkan ide-ide kreatif mereka
menjadi aksi nyata sebagai solusi untuk memperbaiki kualitas alam dan kualitas
hidup manusia.
Tahun ini, fokus tema yang diangkat adalah kota yang
berkelanjutan atau sustainable cities.
Info Lebih Lanjut, kunjungi Climate Smart Leaders
Terapi Ayat-ayat Tuhan
Sebuah desa di pinggiran Kutaraja menjadi tempat hunianku saat
ini. Rumah-rumah tsunami bantuan Arab Saudi berdiri kokoh berjejeran
rapi. Hanya hunian sederhana, namun sangat nyaman bagi penghuninya, ditambah
lagi masyarakatnya yang saling menghargai dan menghormati.
Namun, akhir-akhir ini kenyamanan itu mulai terusik. Berubah
menjadi kebisingan hanya gara-gara ada satu keluarga pendatang baru. Mereka
baru saja pindah ke desa kami. Rumah mereka pas bersebelahan dengan rumahku.
Jadi, sekarang mereka resmi menjadi tetangga baruku.
Bising, sungguh sangat bising. Hobi satu keluarga itu adalah
menghidupkan musik dengan volume sangat keras serta berkarokean ria dengan
suara berantakan tidak beraturan. Hal inilah yang membuat suasana desa kini
mulai tidak nyaman lagi. Suara musik dan karoke yang sangat keras hampir di
setiap jam selalu membuat kepalaku ingin pecah. Bukan malah menjadi hiburan
dengan suara merdu nan indah, namun menjadi malapetaka dan musibah.
Parahnya lagi, ruang karoke rumah mereka pas berdempetan dengan
kamar tidurku. Kenyamanan hidupku kini spontan berubah drastis dari kehidupan
istana menjadi kehidupan neraka. Hidupku kini mulai suram ditemani suara-suara
hancur berantakan. Yang sangat merisihkan lagi, hampir seluruh anggota keluarga
mereka memiliki perangai yang sama, mulai dari orang tua sampai anak-anaknya.
Semuanya hobi karokean dengan suara bising yang sangat keras.
Hari paling suram adalah Sabtu dan Minggu. Betapa tidak, jika
hari-hari lain mereka hanya bernyanyi dengan suara single saja, namun setiap malam
Sabtu dan Minggu akan ada kolaborasi antara orang tua dan anak-anaknya. Dangdut
adalah lagu favorit yang sering didendangkan.
Aku sebenarnya tidak membenci lagu dangdut, bahkan aku sangat
menyukai nyanyiannya Bang Rhoma. Namun saat lagu merdu Bang Rhoma mereka
nyanyikan dengan irama hancur dan merusak pendengaran seluruh makhluk di alam
semesta, ini sungguh “terlalu.”
![]() |
Dan lebih parahnya lagi, yang terusik hidup bukan manusia
saja, hewan-hewan juga mengalaminya. Bayangkan saja, setelah mereka
pindah ke kampung kami, suara ayam sudah jarang terdengar di kala Subuh. Burung
pun tidak lagi berkicau di pagi hari. Barangkali ini adalah bentuk protes
mereka atas ketidaknyamanan hidup yang mulai terusik.
Aku memang pernah sekali menegur anak perempuannya yang masih
remaja agar mengecilkan sedikit volume musiknya supaya tidak menggangu tetangga
di sekitar. Kujelaskan bahwa banyak anak-anak yang masih bayi akan terganggu,
juga ada orang tua yang butuh istirahat dengan nyaman tanpa ada kebisingan.
Namun parahnya, si gadis tersebut malah mengajakku berkaroke bersama. “Abang
ingin gabung karokean. Yuk bang ikutan, asik bang…..lanjotttttt,” ujar si gadis
tetanggaku itu. Aku hanya bisa menjawab dengan istighfar dalam hati. Yah,
memang aku sangat percaya bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Orang tua
memang menjadi panutan bagi anak-anaknya. Jika orang tuanya saja tidak
menghargai dan menghormati orang lain, lantas bagaimana dengan anak-anaknya.
Sebenarnya sudah banyak masyarakat yang menegur dan menasehati
mereka agar musik karoke cukup didengar oleh keluarga sendiri saja, tanpa harus
menggangu tetangga sekampung. Namun tetap saja tidak mempan, barangkali hatinya
sudah beku. Masyarakat banyak mengeluh pada keuchik selaku kepala desa tentang
keributan musik setiap sore dan malam. Pak keuchik pun mulai memikirkan cara
agar masalah ini bisa diselesaikan secara damai. Yang penting tidak boleh ada
kekerasan dan kekasaran dalam menasihati.
Memang di kampungku belum pernah terjadi kekerasan di setiap
penyelesaikan masalah, karena memang banyak warga di sini yang berpendidikan
dan beragama. Biasanya jika ada warga yang bersalah dan bermasalah, maka tidak
langsung main tangan, apalagi main bakar. Memang menyelesesaikan masalah
dengan kepala dingin harus banyak bersabar dan membutuhkan waktu agak sedikit
panjang, tapi pasti akan membawa kebaikan bagi semua pihak.
Malam Minggu pun tiba. Aku mulai mencoba merenungkan dengan
kepala dingin cara terbaik yang harus kulakukan agar suara bising karokean bisa
berhenti dengan damai. Saat sedang kusyuknya berkonsentrasi merenung di
kamarku, tiba-tiba aku dikejutkan dengan ulah tetanggaku yang kembali
merayakan pesta karokean dengan kolaborasi satu keluarga.
Suara musik semakin menjadi-jadi memecahkan keheningan malam.
Jika ada satu bom diledakkan di kampungku, sepertinya akan kalah
besar dengan suara musik karokean mereka. Akhirnya Tuhan tunjukkan sebuah kunci
jawaban tentang cara menghentikan musik itu.
“Aku harus menghidupkan musik tandingan, ya musik tandingan,”
ujarku dalam hati.
Segera kubukakan jendela rumahku. Kuletakkan speaker musik pas
di atas jendela. Kuhidupkan laptop dan kusambungkan ke load speaker.
Akhirnya, ketemukan sebuah alunan indah yang akan
bertanding melawan alunan dangdutan masik karokean, yaitu bacaan ayat suci
Alquran. Baru lima menit lantunan ayat suci kuhidupkan, tiba-tiba terdengar
suara seorang ibu berteriak dan menyindirku,”Cepat kali malam Jumat ya, masih
malam minggu sekarang.” Namun tak kuhiraukan, tetap saja alunan firman Tuhan
kubiarkan menyala dengan volume maksimal. Tiba-tiba dari arah rumah tetanggaku
yang lain juga terdengar alunan indah, sama persis seperti di rumahku.
Ternyata dia mengikutiku menghidupkan ayat-ayat Tuhan di VCD rumahnya dengan
volume yang besar juga.
Berselang beberapa menit saja, suara alunan indah Syeh Saad
Sa’id Al-Ghamidi juga terdengar indah dan merdu dengan volume maksimal dari
rumah Pak Muzakkir dan Bu Zahra.
Akhirnya suara karokean tetanggaku mulai terkalahkan oleh
ayat-ayat Tuhan dan yang membuatku kembali kagum adalah terdengarnya
kembali alunan indah yang paling keras dari volume sebelumnya. Ternyata suara
itu berasal dari arah meunasah. Iya, suara ayat Alquran terdengar keras keluar
dari mulut TOA pengeras suara di meunasah.
Malam itu, indahnya alunan ayat-ayat Tuhan telah menghiasi
seluruh sudut kampungku. Jika biasanya malam Minggu terdengar suara bising
karokean, namun malam itu justru yang terdengar merdunya lantunan
ayat-ayat Tuhan. Aku berpikir bahwa ini adalah cara yang sangat indah dilakukan
untuk mengalahkan kezaliman. Kini kampungku kembali damai tanpa ada lagi
kebisingan. (EL/YL)
*Zamzami Zainuddin, staf
pengajar di lembaga bahasa (LDC) IAIN Ar-Raniry
Sumber: Serambi Indonesia
Pekan Kebudayaan Aceh VI
KRUE SEUMANGAT, Alhamdulillah Pemerintah Aceh dalam hal ini
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh akan menyelenggarakan event pesta
kebudayaan terbesar yang dilaksanakan 4 tahun sekali “Pekan Kebudayaan Aceh ke-6” yang Insya Allah akan
dilaksanakan pada tanggal 20 s.d 29 September 2013 di Taman Sulthanah
Syafiatuddin Banda Aceh. Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke-6 mengusung tema “ACEH
SATU BERSAMA”, melalui event budaya ini diharapkan dapat merajut kembali
seluruh elemen masyarakat untuk bersatu padu membangun Aceh yang tamaddun.
Suatu kehormatan bagi Pemerintah Aceh
sebagaimana PKA di tahun-tahun sebelumnya di buka oleh Presiden, maka PKA tahun
ini juga dibuka oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. kegiatan yang
diikuti oleh seluruh Kabupaten/Kota Se-Aceh akan menampilkan kekayaan dan
kearifan lokal mereka melalui kegiatan-kegiatan lomba, pameran dan eksibisi.
Berikut rangkaian event yang akan diselenggarakan pada PKA ke-6 :
Nama Event
: Pekan Kebudayaan Aceh Ke-6
Waktu Pelaksanaan
: 20 s.d 29 September 2013
Skala Event
: Nasional dan Interrnasional
Diselenggarakan Oleh :
Pemerintah Aceh
Diikuti oleh
: Kabupaten/Kota Se-Aceh, Provinsi di
Indonesia, Manca Negara
Rangkaian Kegiatan yang akan diperlombakan pada Pekan
Kebudayaan Aceh Ke-6 adalah Sebagai berikut:
A. Pembukaan
Pembukaan oleh :
Presiden Republik Indonesia
Tanggal
: 20 September 2013
Pukul : 09.00 WIB s.d selesai (updated)
Tempat
: Taman Sulthanah Shafiatuddi
B. Pawai Budaya
Tanggal
: 21 September 2013
Pukul : 07.00 WIB s.d selesai
Tempat
: Start di Simpang Lima (Pawai pejalan kaki
dan mobil hias)
C. Pameran
Tanggal
: 20 s.d 29 September 2013
Pukul : 10.00 – 22.00 WIB s.d
selesai
Tempat
:
·
Anjungan Kab./Kota
(Pameran warisan budaya Kab./Kota)
·
Stand Pameran (Pameran
warisan budaya nusantara)
·
Anjungan, Stand dan
Museum Aceh (Pameran literatur Islam dan budaya Aceh, barang-barang kerajinan,
produk rumah tangga serta obat-obatan tradisional Aceh)
·
Museum Aceh (Pameran
Naskah Kuno, numismatika dan benda pos)
·
Anjungan dan Stand
Pameran (Pameran produk dan paket wisata)
·
Lahan Kosong Tanah Abu
Manyak (Pedagang kaki lima, Pamor Party/EO)
·
Halaman depan stadion
H. Dimurthala (Aceh cultural festival 2013, Pamor Party/EO)
·
Parkiran Taman
Sulthanah Shafiatuddin (Pameran Perbankan)
D. Anugerah Budaya
Tanggal
: 28 September 2013
Pukul : 09.00 WIB s.d selesai
Tempat
: Hermes Palace Hotel
E. Temu Budaya (Seminar)
Tanggal
: 25 s.d 26 September 2013
Pukul : 09.00 WIB s.d selesai
Tempat
: AAC Sultan Selim II
1.
Aceh
Satu dalam Budaya
1.
Judul
: Implimentasi Budaya Aceh dalam Bidang Pendidikan
Pemateri :
- Dr. M. Harun Al-Rasyid (Unsyiah)
- Prof. Dr. Warul Walidin, MA (MPD Aceh)
Pemateri :
- Dr. M. Harun Al-Rasyid (Unsyiah)
- Prof. Dr. Warul Walidin, MA (MPD Aceh)
2.
Judul
: Harmonisasi Dinul Islam dalam Pengembangan Pariwisata
Pemateri :
- Dr. Aslam Nur, MA (IAIN Ar-Raniry)
- Tuan Guru H. Zainal Majdi (Gubernur NTB)
Pemateri :
- Dr. Aslam Nur, MA (IAIN Ar-Raniry)
- Tuan Guru H. Zainal Majdi (Gubernur NTB)
3.
Judul
: Implementasi Budaya Aceh dalam Pelaksanaan Dinul
Islam di tingkat Gampong
Pemateri :
- Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, MA (IAIN Ar-Raniry)
- Prof. Dahlan, SH (Unsyiah)
Pemateri :
- Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, MA (IAIN Ar-Raniry)
- Prof. Dahlan, SH (Unsyiah)
4.
Judul
: Budaya Aceh di Era Globalisasi dalam Tantangan
Pemateri :
- Prof. Dr. Iirwan Abdullah (Yoqyakarta)
- Dr. Jamil Yusuf, M.Si (Fak. Dakwah IAIN Ar-Raniry)
Pemateri :
- Prof. Dr. Iirwan Abdullah (Yoqyakarta)
- Dr. Jamil Yusuf, M.Si (Fak. Dakwah IAIN Ar-Raniry)
5.
Judul
: Warisan Intelektual Aceh
Pemateri :
- Prof. Dr. Amirul Hadi, MA Ph.D (IAIN Ar-Raniry)
- Dr. Oman Fathurrahman (UIN Jakarta)
Pemateri :
- Prof. Dr. Amirul Hadi, MA Ph.D (IAIN Ar-Raniry)
- Dr. Oman Fathurrahman (UIN Jakarta)
2.
Aceh
Satu dalam Sejarah
1.
Judul
: Nilai-nilai Perjuangan Tgk. Chik di Tiro, Muhammad
Saman sebagai Perekat Sejarah dan Masyarakat Aceh.
Pemateri :
- Fachrul Razi, MIP (Staf khusus Gubernur Aceh)
- Dr. Surayya IT, MA (Banda Aceh)
Pemateri :
- Fachrul Razi, MIP (Staf khusus Gubernur Aceh)
- Dr. Surayya IT, MA (Banda Aceh)
2.
Judul
: Aceh dalam Jaringan Internasional di Era Kesultanan
Pemateri :
- Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (Uin Jakarta)- Prof. Dr. Otham bin Yatim (Malaysia)- Prof. Dr. Tatiana Natalosova (Rusia)
Pemateri :
- Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (Uin Jakarta)- Prof. Dr. Otham bin Yatim (Malaysia)- Prof. Dr. Tatiana Natalosova (Rusia)
3.
Judul
: Warisan Intelektual Aceh
Pemateri :
- Prof. Dr. Dien Majid (UIN Jakarta)- Dr. Husaini Ibraqhim, MA (FKIP Unsyiah)- H. Hasanoel Bashry (Abu Mudi Samalanga)
Pemateri :
- Prof. Dr. Dien Majid (UIN Jakarta)- Dr. Husaini Ibraqhim, MA (FKIP Unsyiah)- H. Hasanoel Bashry (Abu Mudi Samalanga)
4.
Judul
: Aceh dalam Tiga Dimensi Waktu
Pemateri :
- Dr. Fachri Ali, MA (Jakarta)
- Prof. Dr. Misri A. Muchsin, MA (IAIN Ar-Raniry)
Pemateri :
- Dr. Fachri Ali, MA (Jakarta)
- Prof. Dr. Misri A. Muchsin, MA (IAIN Ar-Raniry)
F. Gebyar Seni
Tanggal
: 20 s.d 28 September 2013
Pukul : 16.30 – 22. 00 WIB s.d
selesai
Tempat
:
·
Taman Budaya (Teater,
Rebana, Kaligrafi dan Seni Ukir)
·
Taman Sulthanah
Shafiatuddin (Saman, Seudati, Tari dan Eksibisi)
·
Gedung Tgk. Chik Di
Tiro (Rapai Geleng, Dalail Khairat,Zikir Maulid dan Paduan Suara)
G. Permainan Rakyat
Tanggal
: 22 s.d 26 September 2013
Pukul : 08.00 WIB s.d selesai
Tempat
: Lapang Tugu Unsyiah dan Jembatan
Lamnyong
H. Atraksi Budaya
Tanggal
: 20 s.d 29 September 2013
Pukul : 09.00 WIB s.d selesai
Tempat
: Anjungan Kab./Kota di Taman Sulthanah
Shafiatuddin
I. Anugerah Budaya
Tanggal
: 28 s.d 29 September 2013
Pukul : 16.00 WIB s.d selesai (waktu disesuaikan)
Tempat
: Hermes Palace Hotel
J. Penutupan
Tanggal
: 29 September 2013
Pukul : 08.00 WIB s.d selesai (waktu disesuaikan)
Tempat
: Taman Sulthanah Shafiatuddin
Pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-6 dimaksudkan untuk :
·
Membentuk kepribadian
masyarakat yang berbudaya.
·
Menumbuhkan pemahaman,
pengamalan dan pelestarian nilai budaya daerah yang luhur dan beradab.
·
Melestarikan nilai
budaya bangsa untuk mengangkat harkat dan martabat manusia yang dijiwai oleh
nilai-nilai agama.
·
Meningkatkan peran
serta dan apresiasi masyarakat dalam mengaktualisasikan nilai-nilai budaya Aceh
yang Islami.
·
Menumbuhkembangkan
minat dan kreatifitas seniman dan budayawan Aceh.
·
Melestarikan keragaman
budaya untuk memperkokoh kedamaian yang abadi di Aceh.
·
Mempromosikan adat
budaya, produk budaya, dan pariwisata Aceh.
·
Menjadi perekat
keragaman budaya bagi masyarakat Aceh
Masyarakat Aceh diharapkan agar:
·
Meningkatkan peran
serta mereka dalam menjaga, mengembangan dan melestarikan budaya daerah
·
Memantapkan budaya
daerah sebagai saringan untuk budaya luar yang tidak sesuai.
·
Tumbuhnya motivasi,
daya cipta para semiman/budayawan dan masyarakat.
·
Menguatnya perhatian
pemerintah dalam pengembangan kebudayaan Aceh
·
Meningkatnya arus
kunjungan Wisatawan Nusantara dan Mancanegara
Target yang akan dicapai:
·
Berkembangnya budaya
Islam
·
Berkembangnya sejumlah
karya budaya
·
Meningkatnya peran
serta dan apresiasi masyarakat dalam melestarian kebudayaan
·
Semakin berkembang
aktifitas para budayawan dan seniman
·
Semakin berkembangnya
karya seni untuk meningkatkan kesejahteraan.
·
Semakin berkembangnya
pariwisata.
Semakin dirasakan
budaya sebagai penyejuk dalam kehidupan.
Sumber: pka6.com