Archive for 2013-09-15

Menelisik Sejarah Pekan Kebudayaan Aceh (PKA)


PIDATO yang disampaikan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) RI itu, saat menutup Pekan kebudayaan Aceh (PKA) I pada 1958, bukan hanya sekadar ingin menyenangi perasaan masyarakat Aceh yang baru saja usai menghadapi konflik DI/TII. Melainkan apresiasi itu lebih pada kesakralan dan keseriusan pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh itu sendiri. Digelarnya PKA I ini memang bukan sekadar ajang hiburan pesta budaya rakyat, tapi lebih pada penggalian kembali nilai-nilai kebudayaan Aceh yang hilang, baik disebabkan oleh tekanan Belanda semasa perang Aceh, maupun akibat pengaruh konflik (DI/TII) yang melanda Aceh tak lama setelah Indonesia merdeka.

Selain itu, tujuan digelarnya PKA juga ingin merumuskan kembali bagaimana mengembangkan pembangunan Aceh yang berlandaskan nilai-nilai budaya masyarakat. Karena itu, jauh sebelum PKA I digelar, satu tahun sebelumnya atau tepatnya pada 1957 dibentuk sebuah lembaga khusus yang dimanai Lembaga Kebudayaan Aceh yang diketuai oleh Mayor T Hamzah. Lembaga inilah yang bekerja selama lebih kurang satu tahun untuk mempersiapkan pelaksanaan PKA I pada 1958, yang kala itu memberi arti penting bagi pengembangan kebudayaan dan pembangunan daerah Aceh setelah PKA itu dilaksanakan.

 Piagam Blangpadang
Satu hasil penting yang ditelorkan dari pelaksanaan PKA I dulu adalah lahirnya “Piagam Blangpadang”, yang isinya antara lain, menggali dan menghidupkan kembali budaya tradisional dan adat Aceh adalah bagian terpenting dalam setiap gerak pembangunan Aceh dan masyarakatnya. Implementasi “Piagam Blangpadang” ini terus ditindaklanjuti hingga 14 tahun kemudian, yang ditandai dengan penyelenggaraan PKA II pada 1972, yang berlangsung cukup meriah dan mengesankan.


Demikian pula PKA III yang dilaksanakan 16 tahun kemudian atau tepatnya pada 1988. Penyelenggaraan PKA III ini juga bukan PKA main-main. Landasan dan tujuan pelaksanaannya malah lebih luas dari dua PKA sebelumnya. PKA III selain ingin menggali dan menguatkan kembali nilai-nilai tradisi masyarakat, juga mengangkat persoalan ideologi, ekonomi, sosial budaya, hankam dan agama. Sehingga masalah-masalah yang sebelumnya menjadi kecurigaan masyarakat Aceh yang bersifat negatif, dapat diubah menjadi positif dalam mewujudkan kemajuan pembangunan Aceh.

Keseriusan pelaksaan PKA III juga tercermin dalam mengangkat topik-topik yang disikusikan sebagai bagian dari even PKA, di antaranya Seminar Budaya dengan tema “Wajah Rakyat Aceh dalam Lintasan Sejarah”, “Hari Depan Kebudayaan Aceh”, “Identitas Kesenian Aceh di Tengah Pengembangan Budaya Modern” dan “Peranan Sastra Aceh dalam Sastra Indonesia”, dan lain-lain. Karenanya tak heran, bila di era 1980-an landasan pembangunan Aceh selalu bersentuhan dengan nilai-nilai kebudayaan Aceh. Kantong-kantong budaya dan sanggar-sanggar rakyat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Aceh saat itu-mulai dari hilir ke hulu yang dusupport oleh pemerintah Aceh semasa Gubernur Ibrahim Hasan.

Sayangnya, di tengah semaraknya pertumbuhan kantong-kantong seni dan budaya Aceh saat itu, Aceh harus kembali menghadapi konflik yang puncaknya diberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) untuk Aceh. Sejak itu, apa yang telah dibangun dan dibina pemerintah Aceh dalam mengembangkan kembali nilai-nilai kebudayaan Aceh harus terhenti akibat konflik Aceh yang terus memuncak. Sanggar-sanggar seni dan kantong-kantong budaya yang sedang tumbuh dan berkembang di daerah sebagai bagian dari pembangunan kultur Aceh saat itu satu persatu harus gulung tikar karena situasi keamaan Aceh yang tidak memungkinkan lagi para seniman-seniman berkarya.

Semangat membangun kebudayaan Aceh yang terkandung dalam PKA III dicoba gagas kembali setelah 16 tahun kemudian, yaitu diselenggarakannya PKA IV sewaktu Gubernur Abdullah Puteh, yang pelaksanaannya juga sangat serius dan sukses. Karena persiapan PKA IV ini juga tidak dadakan, persiapannya tidak satu bulan. Tapi telah dirancang jauh sebelumnya. Apalagi untuk melaksanakan PKA IV harus dibangun lokasi khusus “Miniatur Aceh” yang sekarang dinamai Taman Ratu Safiatuddin, sebagai buah karya hasil PKA IV yang sangat momental.
Akan tetapi, ruh dari semangat pelaksanaan PKA mulai rusak ketika diselenggarakan PKA V pada 2009. 

Pelaksanaan PKA V ini tidak lagi melibatkan tokoh-tokoh pemikir budaya lokal (Aceh) untuk merancang sebuah pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh yang benar-benar sakral dan serius. Semua even kegiatan PKA V ditenderkan dan dilaksanakan oleh orang-orang (perusahaan) dari Jakarta yang sama sekali tidak memahami tradisi lokal (Aceh) yang harus digali dan diangkat tampil dalam PKA V.


Itu sebabnya, mengapa PKA V tidak meninggalkan jejak yang berarti bagi pembangunan cultural Aceh setelah PKA itu dilaksanakan. Malah yang terkesan dari pelaksanaan PKA V tak ubahnya seperti pelaksanaan pameran-pameran produk (expo) yang mengatasnamakan PKA. Pelaksanaan PKA V 2009 secara pemberdayaan ekonomi tentu sangat merugikan kaum seniman lokal kita di Aceh. Yang menguntungkan adalah cokong-cukong seni yang terlibat dalam even PKA itu. Lalu, apakah pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA VI) yang akan digelar 20-29 September 2013 ini akan terulang seperti PKA V lalu?

Semestinya, perhelatan PKA VI sebagai pesta budaya rakyat Aceh yang sangat akbar ini dengan waktu pelaksanaan tak sampai sebulan lagi, panitia sudah bekerja ekstra dengan berbagai persiapan perhelatan yang matang. Brosur-brosur PKA VI yang sudah tersebar di mana-mana, termasuk di hotel-hotel dan di tempat-tempat umum lainnya sebagai sosialisasi bahwa di Aceh akan berlangsung sebuah perhelatan pesta budaya rakyat yang sangat besar, yaitu Pekan Kebudayaan Aceh.

Sehingga gaung PKA VI yang akan digelar akan terus menggema dan menjadi perhatian rakyat, tak hanya di Aceh, tapi sebaran informasi itu hingga ke luar Aceh untuk menarik perhatian masyarakat nasional dan manca negara untuk datang menyaksikannya.

 Wajar dipertanyakan
Apalagi PKA VI yang bakal dilaksanakan bertepatan dengan program Visit Aceh Year 2013, tentu akan sangat strategis bila PKA VI ini disosialisasikan jauh-jauh hari di dalam maupun luar negeri. Namun ini tidak terjadi dalam persiapan PKA yang bakal digelar pertengahan September bulan depan. Bila demikian kondisi persiapannya, maka wajar bila dipertanyakan, kontribusi apa yang bakal dihasilkan dari PKA VI dalam kelanjutan pembangunan kebudayaan Aceh setelah PKA itu usai dilaksanakan?

Sebenarnya, even PKA V yang sudah digelar dan PKA VI yang bakal digelar tahun ini adalah momen penting dalam menentukan kembali arah masa depan pembangunan kebudayaan masyarakat Aceh. Karena dua even PKA ini, Aceh telah mengalami perubahan signifikan, baik secara tradisi, adat dan budaya, maupun secara kepemimpinan pemerintahan yang harus merujuk pada UUPA. Untuk mengimplementasikan semua amanat UU itu, Aceh hari ini harus menata kembali kehidupan sosial budaya masyarakatnya menuju masyarakat Aceh yang sejahtera, berbudaya dan bermartabat.


Saya kira itulah yang menjadi ruh dari tujuan pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh yang sesungguhnya. Jadi, PKA bukan sekadar mengundang Dinas-dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten/kota di seluruh Aceh untuk mengisi anjungannya masing-masing yang telah tersedia di Taman Ratu Safiatuddin Banda Aceh. PKA VI ini harus dipersiapkan secara matang dengan melibatkan tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir kebudayaan yang mampu merumuskan konsep bagaimana membangun nilai budaya masyarakat di tengah kepentingan pembangunan fisik material.

* Nab Bahany As, Budayawan/Ketua Lembaga Studi Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat (LSKPM) Aceh, tinggal di Banda Aceh. Email: nabbahanyas@yahoo.co.id


Sumber: Serambi Indonesia


Friday, September 20, 2013
Posted by Unknown
Tag :

Event: Climate Smart Leaders


Climate-smart leaders adalah program yang ditujukan bagi kaum muda (usia 15-24 tahun) yang punya gagasan dan ide kreatif untuk menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan, khususnya masalah perubahan iklim. Program ini merupakan ajang bagi kaum muda untuk mewujudkan ide-ide kreatif mereka menjadi aksi nyata sebagai solusi untuk memperbaiki kualitas alam dan kualitas hidup manusia.

Tahun ini, fokus tema yang diangkat adalah kota yang berkelanjutan atau sustainable cities.

Info Lebih Lanjut, kunjungi Climate Smart Leaders


Posted by Unknown
Tag :

Terapi Ayat-ayat Tuhan


Sebuah desa di pinggiran Kutaraja menjadi tempat hunianku saat ini. Rumah-rumah tsunami bantuan  Arab Saudi berdiri kokoh berjejeran rapi. Hanya hunian sederhana, namun sangat nyaman bagi penghuninya, ditambah lagi masyarakatnya yang saling menghargai dan menghormati.

Namun, akhir-akhir ini kenyamanan itu mulai terusik. Berubah menjadi kebisingan hanya gara-gara ada satu keluarga pendatang baru. Mereka baru saja pindah ke desa kami. Rumah mereka pas bersebelahan dengan rumahku. Jadi, sekarang mereka resmi menjadi tetangga baruku.

Bising, sungguh sangat bising. Hobi satu keluarga itu adalah menghidupkan musik dengan volume sangat keras serta berkarokean ria dengan suara berantakan tidak beraturan. Hal inilah yang membuat suasana desa kini mulai tidak nyaman lagi. Suara musik dan karoke yang sangat keras hampir di setiap jam selalu membuat kepalaku ingin pecah. Bukan malah menjadi hiburan dengan suara merdu nan indah, namun  menjadi malapetaka dan musibah.

Parahnya lagi, ruang karoke rumah mereka pas berdempetan dengan kamar tidurku. Kenyamanan hidupku kini spontan berubah drastis dari kehidupan istana menjadi kehidupan neraka. Hidupku kini mulai suram ditemani suara-suara hancur berantakan. Yang sangat merisihkan lagi, hampir seluruh anggota keluarga mereka memiliki perangai yang sama, mulai dari orang tua sampai anak-anaknya. Semuanya hobi karokean dengan suara bising yang sangat keras.

Hari paling suram adalah Sabtu dan Minggu. Betapa tidak, jika hari-hari lain mereka hanya bernyanyi dengan suara single saja, namun setiap malam Sabtu dan Minggu akan ada kolaborasi antara orang tua dan anak-anaknya. Dangdut adalah lagu favorit yang sering didendangkan.
Aku sebenarnya tidak membenci lagu dangdut, bahkan aku sangat menyukai nyanyiannya Bang Rhoma. Namun saat lagu merdu Bang Rhoma mereka nyanyikan dengan irama hancur dan merusak pendengaran seluruh makhluk di alam semesta, ini sungguh “terlalu.”

Terapi Ayat-ayat Tuhan

Dan lebih parahnya lagi, yang terusik hidup bukan manusia saja,  hewan-hewan juga mengalaminya. Bayangkan saja, setelah mereka pindah ke kampung kami, suara ayam sudah jarang terdengar di kala Subuh. Burung pun tidak lagi berkicau di pagi hari. Barangkali ini adalah bentuk protes mereka atas ketidaknyamanan hidup yang mulai terusik. 

Aku memang pernah sekali menegur anak perempuannya yang masih remaja agar mengecilkan sedikit volume musiknya supaya tidak menggangu tetangga di sekitar. Kujelaskan bahwa banyak anak-anak yang masih bayi akan terganggu, juga ada orang tua yang butuh istirahat dengan nyaman tanpa ada kebisingan. Namun parahnya, si gadis tersebut malah mengajakku berkaroke bersama. “Abang ingin gabung karokean. Yuk bang ikutan, asik bang…..lanjotttttt,” ujar si gadis tetanggaku itu. Aku hanya bisa menjawab dengan istighfar dalam hati. Yah, memang aku sangat percaya bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Orang tua memang menjadi panutan bagi anak-anaknya. Jika orang tuanya saja tidak menghargai dan menghormati orang lain, lantas bagaimana dengan anak-anaknya.

Sebenarnya sudah banyak masyarakat yang menegur dan menasehati mereka agar musik karoke cukup didengar oleh keluarga sendiri saja, tanpa harus menggangu tetangga sekampung. Namun tetap saja tidak mempan, barangkali hatinya sudah beku. Masyarakat banyak mengeluh pada keuchik selaku kepala desa tentang keributan musik setiap sore dan malam. Pak keuchik pun mulai memikirkan cara agar masalah ini bisa diselesaikan secara damai. Yang penting tidak boleh ada kekerasan dan kekasaran dalam menasihati.  

Memang di kampungku belum pernah terjadi kekerasan di setiap penyelesaikan masalah, karena memang banyak warga di sini yang berpendidikan dan beragama. Biasanya jika ada warga yang bersalah dan bermasalah, maka tidak langsung main tangan, apalagi main bakar.  Memang menyelesesaikan masalah dengan kepala dingin harus banyak bersabar dan membutuhkan waktu agak sedikit panjang, tapi pasti akan membawa kebaikan bagi semua pihak.

Malam Minggu pun tiba. Aku mulai mencoba merenungkan dengan kepala dingin cara terbaik yang harus kulakukan agar suara bising karokean bisa berhenti dengan damai. Saat sedang kusyuknya berkonsentrasi merenung di kamarku, tiba-tiba aku dikejutkan  dengan ulah tetanggaku yang kembali merayakan pesta karokean dengan kolaborasi satu keluarga.

Suara musik semakin menjadi-jadi memecahkan keheningan malam. Jika ada satu bom diledakkan di kampungku,  sepertinya  akan kalah besar dengan suara musik karokean mereka. Akhirnya Tuhan tunjukkan sebuah kunci jawaban tentang cara menghentikan musik itu.

“Aku harus menghidupkan musik tandingan, ya musik tandingan,” ujarku dalam hati.
Segera kubukakan jendela rumahku. Kuletakkan speaker musik pas di atas jendela. Kuhidupkan laptop dan kusambungkan ke load speaker.

Akhirnya,  ketemukan sebuah alunan indah yang akan bertanding melawan alunan dangdutan masik karokean,  yaitu bacaan ayat suci Alquran. Baru lima menit lantunan ayat suci kuhidupkan, tiba-tiba terdengar suara seorang ibu berteriak dan menyindirku,”Cepat kali malam Jumat ya, masih malam minggu sekarang.” Namun tak kuhiraukan, tetap saja alunan firman Tuhan kubiarkan menyala dengan volume maksimal. Tiba-tiba dari arah rumah tetanggaku yang lain  juga terdengar alunan indah, sama persis seperti di rumahku. Ternyata dia mengikutiku menghidupkan ayat-ayat Tuhan di VCD rumahnya dengan volume yang besar juga.

Berselang beberapa menit saja, suara alunan indah Syeh Saad Sa’id Al-Ghamidi juga terdengar indah dan merdu dengan volume maksimal dari rumah Pak Muzakkir dan Bu Zahra.
Akhirnya suara karokean tetanggaku mulai terkalahkan oleh ayat-ayat Tuhan  dan yang membuatku kembali kagum adalah terdengarnya kembali alunan indah yang paling keras dari volume sebelumnya. Ternyata suara itu berasal dari arah meunasah. Iya, suara ayat Alquran terdengar keras keluar dari mulut TOA pengeras suara di meunasah.

Malam itu, indahnya alunan ayat-ayat Tuhan telah menghiasi seluruh sudut kampungku. Jika biasanya malam Minggu terdengar suara bising karokean, namun malam itu  justru yang terdengar  merdunya lantunan ayat-ayat Tuhan. Aku berpikir bahwa ini adalah cara yang sangat indah dilakukan untuk mengalahkan kezaliman. Kini kampungku kembali damai tanpa ada lagi kebisingan.(EL/YL)

 *Zamzami Zainuddin,  staf pengajar di lembaga bahasa (LDC) IAIN Ar-Raniry


Sumber: Serambi Indonesia

Posted by Unknown
Tag :

Pekan Kebudayaan Aceh VI



KRUE SEUMANGAT, Alhamdulillah Pemerintah Aceh dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh akan menyelenggarakan event pesta kebudayaan terbesar yang dilaksanakan 4 tahun sekali “Pekan Kebudayaan Aceh ke-6” yang Insya Allah akan dilaksanakan pada tanggal 20 s.d 29 September 2013 di Taman Sulthanah Syafiatuddin Banda Aceh. Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke-6 mengusung tema “ACEH SATU BERSAMA”, melalui event budaya ini diharapkan dapat merajut kembali seluruh elemen masyarakat untuk bersatu padu membangun Aceh yang tamaddun.

Suatu kehormatan bagi Pemerintah Aceh sebagaimana PKA di tahun-tahun sebelumnya di buka oleh Presiden, maka PKA tahun ini juga dibuka oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. kegiatan yang diikuti oleh seluruh Kabupaten/Kota Se-Aceh akan menampilkan kekayaan dan kearifan lokal mereka melalui kegiatan-kegiatan lomba, pameran dan eksibisi. Berikut rangkaian event yang akan diselenggarakan pada PKA ke-6 :

Nama Event             : Pekan Kebudayaan Aceh Ke-6
Waktu Pelaksanaan   :  20 s.d 29 September 2013
Skala Event             :  Nasional dan Interrnasional
Diselenggarakan Oleh : Pemerintah Aceh
Diikuti oleh              : Kabupaten/Kota Se-Aceh, Provinsi di Indonesia, Manca Negara

Rangkaian Kegiatan  yang akan diperlombakan pada  Pekan Kebudayaan Aceh Ke-6 adalah Sebagai berikut:

A. Pembukaan
Pembukaan oleh : Presiden Republik Indonesia
Tanggal            : 20 September 2013
Pukul              : 09.00 WIB s.d selesai (updated)
Tempat             : Taman Sulthanah Shafiatuddi

B. Pawai Budaya
Tanggal            :  21 September 2013
Pukul              : 07.00 WIB s.d selesai
Tempat             : Start di Simpang Lima (Pawai pejalan kaki dan mobil hias)

C. Pameran
Tanggal             : 20 s.d 29  September 2013
Pukul              : 10.00 – 22.00 WIB s.d selesai
Tempat             :
·         Anjungan Kab./Kota (Pameran warisan budaya Kab./Kota)
·         Stand Pameran (Pameran warisan budaya nusantara)
·         Anjungan, Stand dan Museum Aceh (Pameran literatur Islam dan budaya Aceh, barang-barang kerajinan, produk rumah tangga serta obat-obatan tradisional Aceh)
·         Museum Aceh (Pameran Naskah Kuno, numismatika dan benda pos)
·         Anjungan dan Stand Pameran (Pameran produk dan paket wisata)
·         Lahan Kosong Tanah Abu Manyak (Pedagang kaki lima, Pamor Party/EO)
·         Halaman depan stadion H. Dimurthala (Aceh cultural festival 2013, Pamor Party/EO)
·         Parkiran Taman Sulthanah Shafiatuddin (Pameran Perbankan)

D. Anugerah Budaya
Tanggal             : 28  September 2013
Pukul              : 09.00 WIB s.d selesai
Tempat             : Hermes Palace Hotel

E. Temu Budaya (Seminar)
Tanggal            : 25  s.d 26 September 2013
Pukul              : 09.00 WIB s.d selesai
Tempat             : AAC Sultan Selim II
1.     Aceh Satu dalam Budaya
1.     Judul        :  Implimentasi Budaya Aceh dalam Bidang Pendidikan
Pemateri :
- Dr. M. Harun Al-Rasyid (Unsyiah)
- Prof. Dr. Warul Walidin, MA (MPD Aceh)
2.     Judul        : Harmonisasi Dinul Islam dalam Pengembangan Pariwisata
Pemateri :
Dr. Aslam Nur, MA (IAIN Ar-Raniry)
- Tuan Guru H. Zainal Majdi (Gubernur NTB)
3.     Judul        : Implementasi Budaya Aceh dalam Pelaksanaan Dinul Islam di tingkat Gampong
Pemateri :
Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, MA (IAIN Ar-Raniry)
- Prof. Dahlan, SH (Unsyiah)
4.     Judul        : Budaya Aceh di Era Globalisasi dalam Tantangan
Pemateri :
Prof. Dr. Iirwan Abdullah (Yoqyakarta)
- Dr. Jamil Yusuf, M.Si (Fak. Dakwah IAIN Ar-Raniry)
5.     Judul        : Warisan Intelektual Aceh
Pemateri :
Prof. Dr. Amirul Hadi, MA Ph.D (IAIN Ar-Raniry)
- Dr. Oman Fathurrahman (UIN Jakarta)

2.     Aceh Satu dalam Sejarah
1.     Judul        :  Nilai-nilai Perjuangan Tgk. Chik di Tiro, Muhammad Saman sebagai Perekat Sejarah dan Masyarakat Aceh.
Pemateri :
Fachrul Razi, MIP (Staf khusus Gubernur Aceh)
- Dr. Surayya IT, MA (Banda Aceh)
2.     Judul        : Aceh dalam Jaringan Internasional di Era Kesultanan
Pemateri :
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (Uin Jakarta)- Prof. Dr. Otham bin Yatim (Malaysia)- Prof. Dr. Tatiana Natalosova (Rusia)
3.     Judul        : Warisan Intelektual Aceh
Pemateri :
Prof. Dr. Dien Majid (UIN Jakarta)- Dr. Husaini Ibraqhim, MA (FKIP Unsyiah)- H. Hasanoel Bashry (Abu Mudi Samalanga)
4.     Judul        : Aceh dalam Tiga Dimensi Waktu
Pemateri :
Dr. Fachri Ali, MA (Jakarta)
- Prof. Dr. Misri A. Muchsin, MA (IAIN Ar-Raniry)

F. Gebyar Seni
Tanggal            : 20  s.d 28 September 2013
Pukul              : 16.3– 22. 00 WIB s.d selesai
Tempat             :
·         Taman Budaya (Teater, Rebana, Kaligrafi dan Seni Ukir)
·         Taman Sulthanah Shafiatuddin (Saman, Seudati, Tari dan Eksibisi)
·         Gedung Tgk. Chik Di Tiro (Rapai Geleng, Dalail Khairat,Zikir Maulid dan Paduan Suara)

G. Permainan Rakyat
Tanggal            : 22  s.d 26 September 2013
Pukul              : 08.00 WIB s.d selesai
Tempat             : Lapang Tugu Unsyiah dan  Jembatan Lamnyong

H. Atraksi Budaya
Tanggal            : 20  s.d 29 September 2013
Pukul              : 09.00 WIB s.d selesai
Tempat             : Anjungan Kab./Kota di Taman Sulthanah Shafiatuddin

I. Anugerah Budaya
Tanggal            : 28  s.d 29 September 2013
Pukul              : 16.00 WIB s.d selesai (waktu disesuaikan)
Tempat             :  Hermes Palace Hotel

J. Penutupan
Tanggal            : 29 September 2013
Pukul              : 08.00 WIB s.d selesai (waktu disesuaikan)
Tempat             :  Taman Sulthanah Shafiatuddin

Pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-6 dimaksudkan untuk :
·         Membentuk kepribadian masyarakat yang berbudaya.
·         Menumbuhkan pemahaman, pengamalan dan pelestarian nilai budaya daerah yang luhur dan beradab.
·         Melestarikan nilai budaya bangsa untuk mengangkat harkat dan martabat manusia yang dijiwai oleh nilai-nilai agama.
·         Meningkatkan peran serta dan apresiasi masyarakat dalam mengaktualisasikan nilai-nilai budaya Aceh yang Islami.
·         Menumbuhkembangkan minat dan kreatifitas seniman dan budayawan Aceh.
·         Melestarikan keragaman budaya untuk memperkokoh kedamaian yang abadi di Aceh.
·         Mempromosikan adat budaya, produk budaya, dan pariwisata Aceh.
·         Menjadi perekat keragaman budaya bagi masyarakat Aceh
Masyarakat Aceh diharapkan agar:
·         Meningkatkan peran serta mereka dalam menjaga, mengembangan dan melestarikan budaya daerah
·         Memantapkan budaya daerah sebagai saringan untuk budaya luar yang tidak sesuai.
·         Tumbuhnya motivasi, daya cipta para semiman/budayawan dan masyarakat.
·         Menguatnya perhatian pemerintah dalam pengembangan kebudayaan Aceh
·         Meningkatnya arus kunjungan Wisatawan Nusantara dan Mancanegara

Target yang akan dicapai:
·         Berkembangnya budaya Islam
·         Berkembangnya sejumlah karya budaya
·         Meningkatnya peran serta dan apresiasi masyarakat dalam melestarian kebudayaan
·         Semakin berkembang aktifitas para budayawan dan seniman
·         Semakin berkembangnya karya seni untuk meningkatkan kesejahteraan.
·         Semakin berkembangnya pariwisata.
Semakin dirasakan budaya sebagai penyejuk dalam kehidupan.


Sumber: pka6.com


Thursday, September 19, 2013
Posted by Unknown
Tag :

Wikipedia

Search results


Powered by Blogger.

Popular Posts

Copyright © HMI Kom. Teknik Unsyiah

Designed by Amirul Mukminin