- Back to Home »
- Opini »
- Fikih Doktrinal vs Fikih Toleran
MENGAMATI perilaku sebagian masyarakat Aceh dalam beberapa waktu terakhir, terutama yang berhubungan dengan praktik ibadah shalat Jumat, telah menimbulkan kekhawatiran dan keprihatinan beberapa pihak. Mereka mempertanyakan apa motif dan latar belakang adanya perilaku aneh warga Labuang yang mogok shalat Jumat (Serambi, 15/1/2013); Adanya aksi perampasan mimbar Masjid pada saat pelaksanaan shalat Jumat di Kompleks Pesantren Thauthiatut Thullab Desa Arongan, Kecamatan Simpang Mamplam, Bireuen (Serambi, 6/4/2013); Perampasan tongkat khatib pada saat pelaksanaan shalat Jumat di Masjid Baitul Qudus (Serambi, 20/5/2013).
Secara akal sehat, fenomena perilaku seperti ini sulit diterima akal, tidak sesuai dengan semangat Alquran dan ajaran Rasulullah saw dalam berbagai sabdanya. Terlepas dari berbagai motif yang mendorong perilaku ganjil tersebut, secara sederhana dapat dinyatakan bahwa pemahaman dan pengamalan ajaran Islam masyarakat Aceh saat ini, berada pada titik yang sangat rendah, sehingga menyebabkan pemahaman fikih mereka stagnan, kaku dan tidak toleran. Kita sangat kecewa dengan kondisi seperti ini, sehingga sulit untuk dinyatakan siapa sebenarnya pihak yang harus bertanggung jawab terhadap perilaku kelompok masyarakat Aceh tersebut.
Menurut hemat penulis, ada beberapa kesalahan mendasar dalam pemahaman fikih masyarakat kita yang perlu segera diperbaiki untuk meminimalisir dan mengeliminir gejolak bahkan konflik internal masyarakat Aceh yang disebabkan oleh pemahaman ajaran Islam dan praktek yang keliru ini. Oleh karena itu penulis mewacanakan beberapa langkah berikut tanpa memandang pihak mana bersalah dan pihak yang benar.
Definisi fikih
Imam al-Ghazali mendefinisikan ungkapan fikih dengan makna al-‘Ilmu wa al-Fahmu fi ashli wadh’i (berilmu dan memahami sesuatu dari asal usulnya). Al-Asfahany memaknai kata fikih sebagai pengetahuan tentang sesuatu secara mendetail dan mendalam. Definisi ini mengindikasikan kriteria seseorang yang telah memahami sesuatu secara mendetail dan mendalam, tentunya, berwawasan luas dan mampu mengekspresikan keahliannya sesuai bidang ilmunya. Fikih dipahami sebagai disiplin ilmu yang mengaji tentang hukum syara’ yang telah ditetapkan terkait dengan perbuatan mukallaf, seperti wajib, haram, sunat, mubah, dan makruh.
Ibnu Khaldun mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan terhadap hukum-hukum Allah tentang status perbuatan subyek hukum (mukallaf), baik wajib, haram, sunat, makruh, dan mubah. Berbagai ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam Alquran dan sunnah. Dan setiap ketentuan pembentuk syariat yang harus diketahui berdasarkan dalil-dalil ketika hukum ditetapkan berdasarkan dalil tersebut. Namun pada kenyataannya, pembelajaran fikih di lembaga pendidikan Islam baik formal maupun nonformal selama ini berbeda dengan tujuan pembelajaran fikih di atas.
Bahkan, pembelajaran fikih, cenderung berorientasi pada pembekalan kemampuan penguasaan baca Kitab Kuning bagi para santrinya berdasarkan mazhab fikih tertentu, sehingga secara otomatis melahirkan alumni yang telah terbingkai dengan mazhab tertentu pula. Ketika alumni lembaga pendidikan Islam mengajarkan fikih kepada masyarakat awam, maka materi fikihnya telah terkotak-kotak pula pada pemahaman fikih mazhab.
Hal tersebut menimbulkan pemahaman masyarakat awam yang terbatas dan sempit dan adakalanya menyimpang substansi tujuan disiplin ilmu fikih itu sendiri. Penjelasan Ibnu Khaldun bahwa dengan ilmu fikih subyek hukum (dalam hal ini masyarakat Aceh) menemukan ketentuan hukum Islam bersumber dari Alquran dan sunnah, tentunya tidak dapat diwujudkan.
Lebih spesifik
Hukum Islam seringkali dipahami sebagai terjemahan dari term fikih (al-fiqh), al-syarî‘at, al-hukm al-Islâmî. Padahal, masing-masing istilah tersebut memiliki kerangka pemikiran tersendiri. Cakupan kajian syariat lebih luas dari cakupan kajian fikih. Kajian syariat mencakup segala ketentuan yang Allah tetapkan kepada setiap muslim baik yang termaktub dalam Alquran dan sunnah, mencakup pula ilmu tauhid, akhlak, halal, dan haram. Dengan demikian fikih lebih spesifik dari syariat.
Berdasarkan cara pandang seperti ini, maka pembelajaran fikih di lembaga pendidikan Islam harus diarahkan agar subyek didik memahami syariat yang langsung bersumber dari Alquran dan hadis bukan difokuskan pada penguasaan terhadap disiplin fikih. Kalau selama ini, setiap santri mempelajari fikih dari kitab kuning, maka strateginya diubah; Santri mempelajari fikih yang langsung bersumber dari kitab kuning ahkam Alquran dan kitab kuning ahkam hadis atau hadis ahkam, tentunya setelah mereka dibekali dan menguasai ilmu alat (ilmu bantu) untuk mempelajari Alquran dan hadis.
Pembelajaran fikih melalui strategi seperti tersebut di atas akan meminimalisir pemahaman fikih mazhab yang telah mempengaruhi perilaku masyarakat Aceh, yang tidak toleran terhadap pemahaman fikih dari mazhab yang berbeda. Seorang penguji calon anggota muhtasib pada WH Pidie bertanya kepada seorang peserta tentang bagaimana ciri-ciri aliran sesat. Seorang peserta menjawab bahwa orang yang tidak baca qunut termasuk ciri-ciri orang yang sesat. Az-Zarqa, seorang ahli Ushul Fiqh kontemporer menberi penjelasan bahwa tujuan syariat Islam ialah demi terwujudnya kemaslahatan masyarakat. Kemaslahatan masyarakat terwujud apabila mempraktekkan syariat dalam kehidupannya. Penerapan syariat menjadi sangat urgen demi terwujudnya kebebasan berpikir rasional manusia dengan memiliki akidah dan keimanan kepada Allah swt. Syariat memberikan petunjuk kepada manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun komunitas masyarakat tertentu.
Syariah adalah keseluruhan ajaran dan norma-norma yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, mengatur kehidupan manusia baik dalam aspek kepercayaannya maupun dalam aspek tingkah laku praktisnya. Syariah adalah agama Islam itu sendiri, yang dibedakan menjadi dua aspek, yakni ajaran tentang kepercayaan (akidah), dan ajaran tentang tingkah laku (amaliah). Dalam hal ini, syariah dalam arti luas identik dengan syara’ (asy-syar’) dan ad-din (agama Islam).
Dalam arti sempit, syariah merujuk kepada aspek praktis (amaliah), yaitu aspek yang berupa kumpulan ajaran atau norma yang mengatur tingkah laku konkret manusia. Syariah dalam arti sempit inilah yang lazimnya diterjemahkan sebagai fikih atau hukum Islam. Syariah dalam arti sempit ini, lebih luas dari sekadar hukum pada umumnya, karena syariah tidak saja meliputi norma hukum itu sendiri. Tetapi juga norma etika atau kesusilaan, norma sosial, dan norma keagamaan (seperti ibadah) yang diajarkan Islam.
Tak boleh doktrinal
Berdasarkan prinsip di atas, maka keseluruhan materi fikih tidak boleh diajarkan secara doktrinal. Seorang pengajar fikih tidak dibenarkan mengatakan kepada santrinya: “Nyoe yang betoi, yang laen salah” atau “yang lam kitab nyoe yang paleng betoi, yang laen salah”. Pernyataan pengajar fikih seperti ini melahirkan santri yang berkelakuan intoleran ketika mereka berada di tengah masyarakat, terutama saat mereka menyaksikan sesuatu yang berbeda dengan apa yang telah mereka pelajari.
Kita berharap agar perilaku mogok shalat Jumat, membawa lari mimbar masjid, dan perampasan tongkat khatib tidak menjadi trend dan diikuti oleh masyarakat yang latah pemahaman fikihnya, sehingga pihak luar menilai betapa piciknya wawasan fikih sebagian masyarakat Aceh. Marilah kita membangun nilai-nilai kearifan, bersikap rasional dan toleran dalam mengamalkan ajaran Islam, sehingga Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin tersaji indah di bumi Aceh ini. Wallahu ‘alam bi al-shawab.
Jailani M. Yunus, S.Ag, M.Ag, Dosen Fakultas Tarbiyah, Mahasiswa Program Doktor Konsentrasi Fiqh Modern IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: jailani.yunus@yahoo.com
Sumber : Serambi Indonesia